Teknologi selalu menjadi salah satu isu terpenting dalam seni visual. Teknologi mengubah bentuk, konten, dan bahkan definisi dari seni. Seiring dengan mapannya ekosistem digital, genre seni seperti lukisan, patung, dan kriya, yang dulunya mengandalkan metode produksi analog, kini melepaskan diri dari tatanan tradisional dan mengaplikasikan teknologi digital.
Pemandangan pameran tunggal Autopilot Jackson Hong, yang diadakan pada tahun 2016 di Galeri Perigee di Distrik Seocho Seoul. Mengaburkan batasan antara desain dan seni rupa, kreasi Hong bertujuan untuk menafsirkan sosial, politik, dan ekonomi.
© Jackson Hong
“Putri Duyung Emas.” Kim Han-saem. 2022. Kaca, daun emas, cetakan pigmen, resin, dan aventurin. 7,5 × 7,5 × 6cm.
“Mari. Kim Han-saem.” 2022. Kaca, daun emas, cetakan pigmen, resin, dan mookaite. 5 × 9,5 × 8 cm.
“Iblis dalam Besi.” Kim Han-saem. 2021. Daun aluminium, cetakan pigmen, dan resin. 97 × 80 × 11 cm.
“Permata di Hutan.” Kim Han-saem. 2021. Akrilik, daun emas, cetakan pigmen, dan resin. 54 × 31 × 16 cm.
Karya Kim Han-saem memanfaatkan elemen subkultur yang ia temui di masa kecilnya. Dia terutama berfokus pada transformasi data untuk mengubah narasi game fantasi menjadi grafik piksel.
© Kim Han-saem
Penerapan teknologi digital dalam bidang seni plastik telah bermula sejak tahun 1990-an, ketika Apple memopulerkan komputer Macintosh. Pada tahun 2000-an, teknologi CNC dan printer 3D mulai diperkenalkan, dan memasuki tahun 2020, komersialisasi generator gambar AI menandai adanya transisi baru.
Digital menginformasikan dan mendematerialisasi dunia. Karenanya, karya seni plastik yang berfokus pada pemberian materialitas melalui objektifikasi dapat saja terlihat melawan arus. Namun, bentuk seni klasik juga menemukan solusi dengan secara aktif mengkritik dan menafsirkan ulang teknologi. Teknologi digital, terutama yang mengandalkan data, membuat proses kerja menjadi lebih efisien dan tanpa membutuhkan banyak tenaga, sehingga wajar jika seniman kontemporer memanfaatkannya. Ada banyak seniman muda yang kelahiran tahun 1980-an dan 1990-an yang bereksperimen dengan batas-batas teknologi digital untuk menciptakan karya-karya yang unik.
Penting untuk dicatat bahwa teknologi mengaburkan batas-batas antargenre. Meskipun hal ini terlihat seperti ancaman bagi eksistensi genre seni tradisional, hal ini justru memperkaya kondisi keberadaan seni dengan mempertanyakan kembali apa sebenarnya seni itu. Lukisan menjadi patung, patung menjadi data, dan kriya menjadi lukisan. Karya-karya yang melepaskan diri dari norma-norma seni tradisional, di mana material dan teknik dipentingkan, dan secara bebas bergerak di antara data dan objek, digital dan analog, menunjukkan keberadaan genre tradisional di era ini.
Cara Menangani Data
Kim Han-saem mengambil jurusan seni lukis di universitas. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa “melukis dengan cat minyak di atas kanvas merupakan hal yang asing bagi saya”. Sebagai anggota generasi digital, ia lebih terbiasa menggambar pada komputer. Setelah lulus, ia memutuskan untuk menggunakan metode yang tidak asing baginya.
Ia mendesain gambar digitalnya dalam format permainan grafis RPG 16-bit. Pertama, ia menggambar dalam program komputer, kemudian mencetaknya di atas kertas. Dengan menggabungkan hasil cetakan dengan media material seperti batu, kristal atau MDF, ia memindahkan data dari dunia digital ke analog. Ia juga membuat bingkai atau tablet sendiri untuk menempelkan hasil cetakan, yang bersama-sama dengan gambarnya membentuk narasi karya tersebut. Metode kerjanya yang dibuat dengan tangan, menciptakan pengalaman sentuhan bagi pemirsanya. Dalam hal ini, karyanya menempati posisi yang sangat unik sebagai ‘data yang dapat disentuh’.
Jackson Hong, seorang lulusan desain industri, adalah seorang seniman yang karyanya melintasi batas antara desain dan seni. Ia telah mengeksplorasi keragaman objek yang dapat ditafsirkan secara berbeda tergantung pada konteksnya, dan hubungan antara objek dan manusia. Ia juga tertarik untuk memvisualisasikan cara pembuatan objek, yang dapat dilakukan karena dasar karyanya adalah data. Seperti seorang desainer merancang sebuah produk, seniman pertama-tama membuat data dan kemudian mewujudkannya menjadi kenyataan, tetapi secara paradoks, karena data tersebut dibuat melalui proses fabrikasi yang membutuhkan keahlian dan keterampilan. Lembaran baja dipotong oleh mesin CNC sesuai dengan data, dibengkokkan dan dilas oleh seorang teknisi untuk memperjelaskan bentuknya.
Dalam karya Jackson Hong, data adalah alat yang sempurna, namun juga mampu mengekspresikan kemauan sang seniman untuk menentang tatanan dan norma yang ketat. Sebagai contoh, seri memanfaatkan kesalahan digital yang disengaja dalam menggambar. Hal ini dilakukan untuk menentang standarisasi dan kesempurnaan serta mengundang interpretasi yang berbeda. Sehingga gambar-gambarnya merupakan karya unik yang melampaui sekadar fungsi kerja dan dapat digambarkan sebagai sinar-x imajiner.
Cara Kerja Pencetakan 3D
Sekilas tentang pameran Drawing and Playing with Jackson Hong, yang diadakan pada tahun 2018 di Museum Seni Buk-Seoul (SeMA). Ditujukan untuk anak-anak, pameran ini mendorong pemikiran kreatif dan menantang prasangka dengan menafsirkan ulang berbagai objek.
Atas izin Museum Seni Buk-Seoul (SeMA); Foto oleh Kim Sang-tae
“Proyek MANJOY.” Kim Ji-min. 2021. Kawat pijar PLA dan kawat baja tahan karat. Dimensi bervariasi.
Sebuah karya dipamerkan di pameran tunggal Kim Ji-min ENVy⁷, yang diadakan pada tahun 2021 di UARTSPACE di Cheongdam-dong, Seoul. Kim mengandalkan cetakan 3D untuk menciptakan karya seni sebagai kritik satir terhadap konsumerisme.
Atas perkenan Kim Ji-min
Kim Ji-min mendalami seni patung dan telah lama dikenal dengan seni jahitan label merek yang padat karya. Dalam beberapa tahun terakhir, ia telah beralih dari bentuk produksi analog ke digital, dengan berfokus pada fenomena psikologis masyarakat konsumen. Khususnya, untuk proyek Smiley, pencetakan 3D adalah strategi yang sangat efektif. Teknologi digital membuatnya dapat cepat menghasilkan ikon yang identik, memungkinkan ekspresi yang terkelompok, yang digunakannya untuk menyampaikan kesadaran tematik dengan cara yang jenaka.
Tetapi karena pencetakan 3D tidak bisa mencakup semuanya, ia juga menggabungkan metode pembuatan patung tradisional. Sebagai contoh, dalam seri Skull, karya asli yang dibuatnya dengan menggunakan teknik pahatan tradisional diubahnya menjadi data digital melalui pemindaian 3D untuk mencetak karya lainnya “Colouring N. 108”. Sang seniman menerapkan data yang sama pada karya berskala besar seperti Inside Out. Hal ini dikarenakan data digital dapat dicetak dalam skala berapa pun.
Sementara Oh Se-rin, yang mendalami lukisan oriental dan seni logam, menggabungkan berbagai elemen dan teknik untuk menciptakan efek visual yang surealis. Pameran tunggalnya “Forest Temperature Bunker”, yang diadakan tahun lalu di Bifoundry di Itaewon, Seoul, merupakan kombinasi yang harmonis antara karya keramik dan cetakan cetak 3D. Sebuah interpretasi alegoris dari kontradiksi manusia dalam menghadapi masalah lingkungan, karya-karya yang dipamerkan masih beresonansi dengan tema-tema karya awalnya, yaitu ‘Tiruan dan Tipuan’.
Dari kejauhan, sulit untuk membedakan bagian mana dari karyanya yang terbuat dari keramik dan mana yang dicetak dengan cetakan 3D. Untuk pencetakan 3D karya ini, sang seniman menggunakan data pemodelan spasial sumber terbuka dari internet. Ia menggunakan perangkat lunak 3D untuk menggabungkan dan mengubah data, yang kemudian dikeluarkan ke printer jenis FDM, di mana bahan dilelehkan hingga mencapai suhu di atas titik lelehnya dan kemudian dibentuk dengan menarik garis dengan ketebalan tertentu. Hasilnya terlihat nyata karena elemen-elemen dengan resolusi yang berbeda dicetak dalam kondisi yang sama.
Serin Oh telah lama tertarik pada bagaimana karya seni asli direplikasi dan diubah dalam konteks kapitalisme. Dia baru-baru ini memperluas penggabungan teknik kerajinan tradisional dengan teknologi. Foto ini menunjukkan salah satu karyanya pada pameran tunggalnya Forest Temperature Bunker yang diadakan di BYFOUNDRY di Hannam-dong pada tahun 2022.
© Roh Kyung
Piksel Anyaman
“Sudden Rules-Bay-2.” Cha Seung-ean. 2017. Benang dan pewarna kawat pijar poliester. 230 × 455 cm.
Karya Cha Seung-ean tampak seperti lukisan dua dimensi namun merupakan tenunan. Dengan menelusuri batas-batas antara dunia Timur dan Barat, dunia visual dan dunia nyata, serta dunia spiritual dan material, Cha bertujuan untuk mengkaji kembali warisan seni abad ke-20 dalam sebuah eksplorasi mengenai apa yang dimaksud dengan lukisan abstrak yang bermakna saat ini.
© Cha Seung-ean
Cha Seung-eun menafsirkan kembali teknik tenun tradisional dalam konteks kontemporer. Seniman dengan latar seni tekstil dan seni lukis ini, menggambarkan dirinya sebagai “seniman yang mencoba menciptakan kembali karya-karya yang menarik dari lukisan abstrak abad ke-20 melalui metode tenun”.
Salah satu karyanya adalah “Sudden Rules-Bay-2”, perpaduan antara karya ekspresionis abstrak Amerika Helen Frankenthaler berjudul “The Bay” dan karya seniman Korea Rhee Seund Ja yang berjudul “Subitement la Loi”. Dia menggunakan komputer untuk mendata karya Rhee, mendesain ulangnya sebagai tenunan sesuai dengan komposisi katun berpiksel, dan mencetaknya di alat tenun jacquard. Kemudian teknik penghisapan noda kanvas Frankenthaler digunakan untuk mencetak pada kain. Eksperimen ini dimaksudkan untuk memungkinkan keteraturan dan kesempatan untuk hidup berdampingan di layar yang sama melalui penenunan dan pencelupan.
Pertanyaan mengenai hubungan antara bahasa dan tenun juga penting dalam karyanya. Ia mendata dan mengkodekan bahasa dan menggunakannya sebagai objek untuk menenun. Kalimat seperti “Before your birth” dan “Your love is better than life” dikodekan dengan transduser, didesain sebagai rancangan tenun, dan ditenun berdasarkan rancangan tersebut. Tidak lain merupakan eksperimen yang mengaburkan batas antara bahasa dan seni.