Features 2022 SPRING 611
Garda Depan Inovasi Dengan dasar keinginan melakukan penyeberangan, telah terlahir kembali dengan resonansi yang canggih dan mendalam setelah melewati masa ratusan tahun, pelopor musik instrumental dan kontemporer Korea yang memiliki keterampilan mapan. Ada tiga grup utama yang mendapat banyak perhatian di panggung domestik dan internasional, lalu apa dan bagaimana dunia musik yang mereka kejar dan tuju itu? Adegan video musik dari album studio ketiga Jambinai, “ONDA”, dirilis pada 2019 oleh Bella Union. Sebuah band post-rock beranggotakan lima orang, Jambinai telah menarik penonton di banyak negara di seluruh dunia dengan penampilan memukau mereka yang terinspirasi oleh musik tradisional Korea. Band ini dibentuk pada tahun 2009. Black String“Meskipun Anda mungkin mengabdikan hidup Anda untuk mencapai suara asli geomungo sungguh tujuan yang sulit dipahami. Dalam arti luas, ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dicita-citakan Black String.” Black String, dibentuk pada tahun 2011, menciptakan suara eksperimental berdasarkan perpaduan improvisasi dari musik tradisional Korea dan jazz. Empat anggotanya adalah, dari kiri: Yoon Jeong Heo pada geomungo, Min Wang Hwang pada ajaeng dan janggu, Aram Lee pada daegeum dan yanggeum, dan Jean Oh pada gitar. Nama unik dari grup beranggotakan empat orang yang telah menarik perhatian saat berpartisipasi dalam festival musik dan jazz dunia domestik dan internasional selama beberapa tahun terakhir ini, menegaskan bahwa musik mereka memiliki akar yang dalam dari geomungo. Alat musik yang memiliki sejarah 1.500 tahun ini melambangkan martabat musik tradisional Korea dengan suara senarnya yang sederhana dan khusyuk. Ternyata ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, karakter Cina untuk ‘Hyeongeum’ adalah ‘Black String’.Empat musisi luar biasa yang membentuk tim pada tahun 2011 adalah Yoon Jeong Heo untuk geomungo, Jean Oh untuk gitar, Aram Lee untuk daegeum dan Min Wang Hwang untuk ajaeng dan janggu. Pada tahun 2016, momen lepas landas datang untuk mereka. Ini adalah kontrak yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan label rekaman Jerman yang terkenal di dunia ACT untuk merilis lima album penuh. ACT, bersama dengan ECM, adalah label rekaman yang mencakup musik kontemporer eksperimental dengan fokus pada jazz. Black String adalah grup konser Korea pertama yang merilis album dengan perusahaan ini.Pemimpin kelompok, Yoon Jeong Heo, adalah tokoh pemegang kunci terobosan. Dia adalah profesor musik tradisional Korea di Universitas Nasional Seoul dan merupakan tokoh pemain geomungo di Korea. “Saya mengenal ahli musik improvisasi melalui ayah saya, dan melihat pemain haegeum Kang Eun-il tampil bebas di luar kerangka musik tradisional Korea, dan akhirnya saya juga terlibat di dalamnya.” kenangnya.Yoon Jeong Heo muncul sebagai peran utama dalam menciptakan angin eksperimen bebas di dunia musik tradisional Korea bersama dengan Kang Eun-il. Bersama dengan pemain cheolhyeongeum Yu Kyung-hwa, mereka membentuk ‘SangSang Trio’ dan memadukan sigimsae dan ritme tradisional dengan metodologi jazz bebas dan musik modern. Won Il, yang berkolaborasi sebagai komposer dengan Yu Kyung-hwa, adalah teman sekelas Yoon Jeong Heo di National Gugak High School.Anggota Black String lainnya adalah veteran muda musik tradisional Korea dan jazz. Mereka tidak ragu-ragu dalam memilih bahan. Dari lagu rakyat tradisional, musik perdukunan, musik Buddhis hingga ‘Exit Music - For a Film’ dari band rock Inggris Radiohead, mereka membawakan repertoar penuh warna untuk menciptakan perpaduan musik mistis tanpa ragu-ragu. Aram Lee, yang memberikan penampilan daegeum unik, kreatif dan bergaya virtuoso yang tidak pernah tergeser oleh pemain suling, Min Wang Hwang, yang bekerja dengannya di tim lain, serta suara gitar minimalis dan tiga dimensi Jean Oh, dan membuktikan semua alat musik ini bisa berbaur serasi dengan geomungo. Pembaca yang baru saja membuka mata mereka terhadap musik tradisional Korea perlu mengingat nama masing-masing personel, yang memiliki aktivitas solo dan proyeknya masing-masing ini.Yoon Jeong Heo berkata, “Saya suka musik improvisasi, tetapi identitas tim tidak keluar dari improvisasi saja. Konsep dan identitas lagu yang jelas harus menjadi tulang punggung, dan improvisasi harus menjadi kekuatan pendorong.” Dalam hal ini, sanjo, genre solo musik improvisasi tradisional Korea, adalah akar dan jantung dari Yoon Jeong Heo dan Black String. Jambinai“Kejutan melihat hewan yang punah atau yang sebelumnya diyakini tidak ada muncul di depan mata, seperti ketika coelacanth yang hidup ditemukan di Laut Dalam… Saya berusaha menciptakan sesuatu seperti itu.” Band post-rock Jambinai dikenal karena perpaduan antara rock dan heavy metal pada instrumen tradisional Korea. Dari kiri: Jaehyuk Choi pada drum; Eun Yong Sim di geomungo; Ilwoo Lee pada gitar, piri dan taepyeongso; Bomi Kim di haegeum; dan B.K. Yu pada gitar bass. Ada festival musik yang disebut Hellfest. Memang namanya sedikit mengerikan untuk sebuah festival. Setiap bulan Juni, ini adalah festival metal global yang membawa puluhan ribu anak muda yang bersemangat ke sebuah kota kecil di Prancis. Dari Iron Maiden hingga Cannibal Corpse, band rock dan metal bertemu untuk saling memperlihatkan kebolehannya.Namun, pada tahun 2016, alat musik tradisional Korea muncul entah dari mana di panggung festival ini. Band Jambinai muncul untuk pertama kalinya. Tim ini adalah grup band post-rock beranggotakan lima orang yang terbentuk pada tahun 2009. Terdiri atas Ilwoo Lee untuk gitar, flute, dan taepyeongso, Bomi Kim untuk haegeum, Eun Youg Shim untuk geomungo, Jaehyuk Choi untuk drum, dan B.K. Yu untuk bass.Musik mereka mengingatkan pada goblin dan hantu ala Korea yang suram dan aneh. Ketika musik bertalu dengan cara memukul batang tubuh dan senar geomungo sekaligus dan bertemu dengan deru haegeum dan gitar listrik, ketegangan dan kengerian yang tidak bisa diciptakan oleh heavy metal menciptakan gelombang liar. Post-rock, shoegazing, metal, dan musik tradisional Korea bertabrakan dan berpadu dalam proporsi yang tidak terduga. Suara frikatif dan afrikatif dari haegeum dan geomungo terasa asing namun mendebarkan.Anggota inti dari grup, Ilwoo Lee, Bomi Kim, dan Eun Yong Shim, adalah teman sekelas dari Fakultas Seni Tradisional Korea Universitas Nasional Seni Korea, dan merupakan siswa yang mengambil musik tradisional asli Korea sejak kecil. Namun, nyatanya Jambinai justru merupakan hasil pemberontakan Ilwoo Lee terhadap musik tradisional Korea. Dia memainkan suling di tahun pertama sekolah menengah, dan bermain gitar listrik dari tahun ketiga dan seterusnya. Dia belajar musik tradisional Korea di sekolah dan bermimpi menjadi seorang rocker ketika berkesempatan menyaksikan Metallica di rumah. Sebelum membentuk Jambinai, ia aktif di sebuah band screamo yang penuh gairah bernama ‘49 Morphines’. Tentang pembentukan Jambinai, ia mengatakan:“Saya ingin menghapus anggapan orang yang mengatakan bahwa ‘Alat musik tradisional Korea tidak pernah bisa menyatu secara alami dengan suara band. Cocoknya hanya untuk rumah tradisional Korea. Musik tradisional adalah musik yang membosankan.’ Untuk membuktikannya, diperlukan suara yang kuat, dan saya mendapat petunjuk tidak langsung dari ‘Roots’ milik band Sepultura, yang menggabungkan musik tradisional Brasil dengan metal. Kolase suara rock yang saya dengar dari album , dan genre post-rock di mana instrumen seperti biola, cello, dan bagpipe berbaur sempurna dengan suara rock, semuanya menjadi inspirasi bagi saya.” Pada SXSW Festival 2014 di AS, pertunjukan Jambinai dimulai dengan dua penonton dan kemudian ruangan penuh hanya dalam waktu 30 menit. Melihat tontonan yang menakjubkan ini secara langsung adalah pengalaman paling intens yang pernah penulis alami di sebuah konser. Band ini akhirnya menandatangani kontrak dengan label Inggris yang terkenal di dunia Bella Union pada tahun 2015, dan merilis album ke-2 mereka ke pasar dunia pada tahun berikutnya, dan menerima sambutan hangat. Suara dramatis mereka, yang dimulai seperti lilin dan menyebar menjadi api besar, adalah ‘Time Of Extinction’ dari album pertama , ‘Wardrobe’ dari album ke-2, dan album ke-3. Spektrumnya luas, mulai dari lagu kekerasan seperti ‘Event Horizon’ di hingga karya meditatif seperti ‘Connection’, lagu terakhir dari album pertama mereka. Kata ‘Eunseo’ yang juga menjadi judul album ke-2 sepertinya menjadi kata kunci yang tepat untuk memahami tim ini. Kata ini berasal dari cryptozoology, ilmu serupa yang berhubungan dengan Nessie atau yeti. Sebelum wabah COVID-19, Jambinai menggelar lebih dari 50 konser di luar negeri dalam setahun. Penampilan mereka memikat penonton di festival kelas dunia seperti WOMAD dari Inggris, EXIT dari Serbia, dan Roskilde dari Denmark, dan menghiasi upacara penutupan Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018. Dongyang Gozupa“Kami pikir kekurangan kami justru akan membuat kami kreatif. Jadi meski anggotanya hanya tiga orang, saya ingin membentuknya menjadi tim yang lebih dari cukup.” Dongyang Gozupa, dibentuk pada tahun 2018, dikenal dengan gayanya yang liar dan menggelegar, sesuai dengan namanya yang secara harfiah berarti “frekuensi tinggi dari Timur.” Dari kiri: Jang Do Hyuk pada perkusi, Yun Eun Hwa pada yanggeum dan Ham Min Whi pada gitar bass. Ada grup band beranggotakan tiga orang dengan keistimewaannya tersendiri yang tidak tertinggal dari dua grup tadi. Namanya ‘Dongyang Gozupa’, yang berarti ‘frekuensi tinggi dari Timur’. Kesan pertama dari grup band ini didominasi oleh senar dari Yun Eun Hwa yang memainkan yanggeum bagai badai. Secara visual mengalahkan badai penolakan yang ditunjukkan Metallica saat memainkan ‘Master of Puppets’. Di sini, gitar bass dengan suara rendah dan berat oleh Ham Min Whi, serta suara perkusi supranatural oleh Jang Do Hyuk bergabung untuk membuat musik yang seolah melaju di Autobahn. Nada jelas yanggeum melompat seperti tetesan air hujan yang jernih mengalir ke hutan hujan tropis yang segar. Tim yang memulai debutnya pada tahun 2018 dengan album EP ini menjadi band Asia pertama yang diundang ke WOMEX, festival musik dunia global, secara berturut-turut pada tahun 2020 dan 2021. Nama tim yang terkesan aneh, yang berarti ‘frekuensi tinggi dari Timur’, diambil dari sebuah papan nama toko reparasi alat elektronik yang kebetulan dilihat Jang Do Hyuk. Nama itu berasal dari pemikiran bahwa akan cocok dengan dunia musik mereka yang liar dan tajam. Inti dari band ini adalah yanggeum oleh Yun Eun Hwa, yang jika oleh Black String atau Jambinai digunakan senar sutra, di sini alat musiknya menggunakan senar dari baja. Yun Eun Hwa menggunakan ini untuk mengekstrak musik yang mengingatkan pada musik metal. Yanggeum sebenarnya berasal dari Persia. Melewati perubahan, alat musik itu kemudian dikenal dengan nama-nama seperti sitar, dulcimer, dan cimbalom. Alat musik ini kemudian masuk ke Korea melalui Cina. Di Korea disebut dengan nama ‘yanggeum’, yang berarti ‘alat musik yang berasal dari Barat’. Di antara alat-alat musik tradisional, yanggeum merupakan alat musik langka yang dapat memainkan tangga nada Barat dan harmoni sampai batas tertentu bersama dengan saenghwang. Yun Eun Hwa, yang juga merupakan ketua dari Asosiasi yanggeum Dunia cabang Korea, telah mengubah alat musik ini dengan caranya sendiri agar lebih modern. Dia berkata, “Sebenarnya yanggeum tradisional berbentuk kecil dan memiliki jangkauan nada yang sempit, sehingga sulit untuk memainkan berbagai genre. yanggeum yang saya kembangkan ini memiliki jangkauan nada 4 setengah oktaf, dan bisa membunyikan nada Barat sebanyak 12 buah, jadi bisa untuk memainkan jenis musik apa saja. Juga memiliki pickup yang memperkuat suara dan menggunakan efektor untuk lebih memperluas cakupan ekspresinya.” Ham Min Hwi berkata, “Rasanya tidak ada orang yang bisa memainkan yanggeum seperti Yun Eun Hwa.” Dia mulai belajar musik di Tiongkok pada usia empat tahun, tertarik pada gaya memainkan yanggeum ala Korea Utara, dan mengambil jurusan perkusi saat kuliah di universitas di Korea. ‘Gaya Yun Eun Hwa’, yang menyerap kekuatan Timur dan Barat serta Korea Selatan dan Utara, perkusi dan musik gesek, adalah hasil dari latihan yang panjang. Jang Do Hyuk, yang tidak menggunakan kick bass drum, juga merupakan pemain yang unik. Daripada menggunakan dua kaki dan dua tangan, ia dapat menyuarakan semua spektrum perkusi dari bass hingga treble hanya dengan dua tangan, sehingga lahirlah gaya unik miliknya sendiri. Berasal dari Danpyunsun and the Sailors, sebuah band rock unik yang menggabungkan pandangan dunia oriental. Yun Eun Hwa menerima Surim New Wave Award dalam acara yang diselenggarakan oleh Surim Cultural Foundation pada akhir tahun 2021. Ini adalah penghargaan kehormatan bagi musisi tradisional Korea muda yang mempersembahkan karya musik eksperimental, yang hanya dapat diterima oleh satu orang atau satu tim setiap tahunnya. Kwon Song Hee, vokalis dari band pop alternatif LEENALCHI, dan Ak Dan Gwang Chil (ADG7), sebuah band yang menginterpretasikan ulang lagu penyihir Provinsi Hwanghae dengan cara modern juga pernah memperoleh penghargaan yang sama.#Gugak
Features 2022 SPRING 601
Menciptakankan Musik Baru Jang Young Gyu adalah seorang musisi yang aktif berkarya di berbagai bidang seni seperti bidang film, seni tari, teater, dan seni kontemporer. Sejak awal tahun 1990-an, Jang telah mulai membentuk dan memimpin beberapa band musik. Ia tak henti-hentinya melemparkan pertanyaan mengenai potensi baru yang dapat digali dari musik tradisional dan terus bereksperimen demi menjawab pertanyaan tersebut. Studionya yang terletak di Paju (Provinsi Gyeonggi) merupakan tempat di mana ia memulai petualangannya sebagai musisi. Pada tahun 2019, LEENALCHI - sebuah band pop alternatif – mendapat respon kuat di dalam dan luar negeri dengan lagunya yang berjudul “Tiger is Coming”. Di dalam band ini, ada sosok bassis sekaligus direktur musik bernama Jang Young Gyu. Beberapa orang mungkin baru mengenal namanya sekarang. Akan tetapi, sebelum dikenal sebagai anggota LEENALCHI, sebenarnya ia telah memikat hati para penggemar musik di luar negeri melalui band rok lagu rakyat bernama SsingSsing.Bukan hanya itu, bahkan orang-orang yang tidak akrab dengan dunia musik pun pernah mendengar musiknya melalui film-film yang populer belakangan ini seperti “Train to Busan” atau “The Wailing”. Selain kedua film itu, “Tazza: The High Rollers” (2006), “A Bittersweet Life” (2005), dan lebih dari 80 buah film lainnya tidak luput dari sentuhan tangannya. Jang Young Gyu juga telah beberapa kali menerima penghargaan musik dalam festival film di dalam dan luar negeri. Di samping itu, ia juga menggeluti musik untuk bidang seni tari dan teater. Saya berkesempatan bertemu dan berbagi cerita dengan musisi Jang Young Gyu yang aktif di berbagai bidang ini. Meskipun ia malu-malu dan berkata bahwa ia kurang pandai berbicara, tetapi pikirannya tetap berbinar terang bagaikan musiknya yang bebas. Ketika masih duduk di bangku SD, ia pernah membentuk grup musik yang “luar biasa”, di mana ia dan teman-temannya memainkan musik hanya dengan pianika dan tamborin. Jang Young Gyu bekerja di studionya di Paju, Provinsi Gyeonggi, tempat ia memadukan musik tradisional Korea dengan genre lain untuk film, tari, dan teater. Seorang gitaris bass, Jang juga telah membentuk band. Yang terbaru adalah LEENALCHI, yang telah menarik perhatian internasional dengan karya crossover-nya. Apa yang membuat Anda menekuni musik tradisional?Saya mulai menekuni musik tradisional karena seorang komponis sekaligus pemusik gugak (sebutan untuk musik tradisional Korea) bernama Won Il. Saya mengenal Won Il pada awal tahun 1990-an, dan kami beraktivitas bersama dalam projek Uhuhboo yang dibentuk pada tahun 1994 hingga perilisan album pertama. Ketika itu, saya dipenuhi dengan keingintahuan yang besar mengenai suara-suara baru. Berkat Won Il, saya dapat berkenalan dengan para musisi gugak dan melakukan berbagai macam pekerjaan bersama mereka.Namun, saya mulai sungguh-sungguh tertarik pada musik tradisional setelah bekerja dengan penari tarian modern Ahn Eun-me. Ia memberikan kesempatan bagi saya untuk mencoba berbagai musik sesuka hati, dan membantu saya untuk dapat mendekati musik dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Khususnya, ketika menggubah lagu “New Chunhyang” dan “Symphoca Princess Bari – This World”, barulah saya dapat memahami perbedaan antara tiga genre vokal tradisional Korea (yaitu pansori, lagu rakyat, dan jeongga) dan terpesona dengan tiap-tiap karakteristiknya. Bermula dari pengalaman inilah saya membentuk Be-Being yang beranggotakan 7 orang pada tahun 2007 untuk lebih mendalami musik tradisional. Melalui Be-Being, saya merancang dan menjalankan projek musik Buddha, musik teater topeng, dan musik istana. Semua projek itu saya rancang dengan niat untuk belajar. Sebagai direktur musik, daya tarik apa dari gugak yang memikat hati Anda? Saya sangat tertarik terhadap segala sesuatu yang hanya dapat diciptakan dalam jangka waktu panjang. Namun di sisi lain, saya pikir ketertarikan itu menunjukkan perbedaan yang besar tergantung pada situasi dan cara kita dipertemukan dengan musik tersebut. Saya cukup beruntung dapat bertemu langsung dengan para musisi gugak dan mendengar suara sejatinya dari dekat. Ketika itu, saya merasakan pesona yang berbeda dengan gugak yang diperdengarkan melalui rekaman atau pertunjukan dengan suara yang sengaja diperbesar menggunakan mikrofon. Pengalaman semacam ini hanya dapat dirasakan ketika mendengarkan musik tradisional ini dari dekat saja. Saya harap banyak orang dapat ikut merasakan pengalaman tersebut. SsingSsing, sebuah band rock minyo (lagu rakyat tradisional), memikat penonton dengan musik inovatif dan penampilan lucu. Dibentuk pada tahun 2015, grup ini terdiri atas tiga penyanyi, seorang drummer dan dua gitaris, termasuk Jang Young Gyu. Bubar pada 2018. Saat ini gugak mendapat penyorotan kembali. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini? Tahun lalu, saya berkesempatan menyaksikan penampilan dari 60 buah tim musik ketika menjadi juri sebuah audisi. Selama menilai pertunjukan tim-tim tersebut, saya terus bertanya-tanya apa sebenarnya yang ingin mereka sampaikan. Peserta yang memainkan musik tradisional memperlihatkan kemampuan yang cukup matang secara teknis karena mereka telah melewati masa latihan yang panjang. Namun, sejujurnya saya berpendapat bahwa pertunjukan yang hanya penuh dengan keterampilan teknis saja tidak dapat dikatakan sebagai “musik”.Selama beberapa tahun terakhir ini, semakin banyak band yang menggabungkan gugak dengan genre lain. Fenomena crossover semacam ini semakin melaju dengan munculnya program audisi gugak dalam siaran televisi pada tahun lalu. Akan tetapi, saya ragu apakah ini adalah pertanda baik. Hal ini membuat saya gelisah karena para pemirsa yang tidak pernah mendengar ataupun mengenal musik tradisional akan menerima musik jenis crossover yang muncul di program audisi tersebut sebagai gugak. Saya khawatir nantinya mereka hanya akan mencari jenis musik semacam itu. Kita harus segera mencari cara dan kesempatan untuk memperkenalkan pesona dan kenikmatan musik tradisional dengan baik. Bagaimana pendapat Anda mengenai musik gabungan antara gugak dengan genre lainnya?Saya melewati masa muda saya sambil mendengarkan sebuah album musik kolaborasi. Album tersebut adalah kolaborasi antara kelompok samulnori (kuartet perkusi tradisional Korea) Kim Duk Soo dengan grup jazz multinasional bernama Red Sun. Saya rasa musik kolaborasi itu sangat luar biasa. Kemudian ansambel perkusi Puri (Percussion Ensemble Puri) dan Yang Bang Ean (Ryo Kunihiko) menarik perhatian saya. Ketika itu hampir-hampir tidak ada band gugak yang tidak memainkan lagu-lagu Yang Bang Ean dalam pertunjukan mereka. Meskipun mungkin Yang Bang Ean tidak berniat demikian, itulah yang terjadi. Saat itu banyak grup musik gugak bermunculan dengan meniru gaya musik Yang Bang Ean, dan hal tersebut sepertinya membawa pengaruh besar dalam dunia gugak.Mengenai grup “Jambinai”, saya pikir mereka tidak termasuk dalam musik tradisional. Namun mereka tahu musik apa yang ingin mereka mainkan dan dengan jelas memperlihatkan warna musiknya. Saya pikir mereka sedang memainkan peranan penting dalam dunia musik. Sementara itu, ada pula band yang berhasil menangkap unsur-unsur yang digemari oleh khalayak seperti “2nd Moon”. Menurut saya, kemunculan berbagai kelompok musisi seperti ini merupakan sebuah gejala yang baik. LEENALCHI tampil di Strange Fruit, pertunjukan langsung di dekat Universitas Hongik, pada Desember 2021. Band pop alternatif ini dibentuk pada 2019 dengan tujuh anggota. “Tiger is Coming” berdasarkan pansori (lagu narasi) yang direinterpretasi menjadi musik pop, menjadi sensasi internasional. Depan: (dari kanan ke kiri) bassis Jang Young Gyu dan penyanyi Kwon Song Hee, Lee Na Rae, Ahn Yi Ho dan Shin Yu Jin. Belakang: bassis Park Jun Cheol dan drummer Lee Chul Hee. Kalau begitu, apa yang pada akhirnya menentukan nilai sebuah musik?Saya pikir harus menunjukkan “perbedaan” untuk itu. Ketika bekerja, saya selalu fokus untuk memikirkan cara mencari dan mengekspresikan perbedaan tersebut. Maksudnya, Anda berusaha untuk menghindari pengekspresian yang terlalu biasa?Banyaknya pengalaman kerja membuat saya merasakan gaya musik saya menjadi begitu jelas dan berulang-ulang menyerupai gaya sebelumnya. Hal ini pernah membuat saya berpikir akan perlunya perubahan. Akan tetapi, pada suatu saat saya tersadar bahwa kekonstanan itu tidaklah selalu buruk, dan akhirnya saya terbebas dari obsesi untuk selalu menemukan hal yang baru. Saya hanya perlu mencari cara ekspresi untuk masing-masing konten di dalam lingkup gaya musik saya. Bagaimana perbedaan pembuatan lagu untuk LEENALCHI dibandingkan dengan lagu-lagu untuk tarian, teater, dan film? Ketika menciptakan lagu-lagu lain, proses cipta itu memiliki tujuan yang jelas. Begitu pula dengan peranan saya di dalamnya. Sebaliknya, LEENALCHI sangat terbuka. Saat menggubah lagu untuk LEENALCHI, saya menyusun irama dan pola dasar musiknya terlebih dahulu. Kemudian, empat orang sorikkun (penyanyi pansori) berkumpul dan mencari bagiannya masing-masing. Kadang-kadang saya juga mencari lima cerita utama pansori (atau pansori madang) untuk menciptakan melodi yang cocok dengan irama dan haluan musiknya. Saya senang mengembangkan temuan-temuan baru tak terduga yang muncul dalam proses penciptaan tersebut. Jadi, proses itu bukanlah penyesuaian terhadap komposisi pansori tradisional, melainkan sebuah kegiatan reka cipta. Apakah ada yang berbeda setelah suksesnya LEENALCHI?Secara samar-samar, saya berharap musik saya dapat memasuki pasar musik populer dan dinikmati secara luas. Akan tetapi, saya tidak pernah memikirkan cara untuk mewujudkannya. Setelah merilis album pertama “Sugungga” pada tahun 2020, saya berhadapan dengan segudang pekerjaan yang benar-benar tidak ingin saya kerjakan dan selalu saya hindari sebelumnya. Namun, saya pikir tidak boleh menyimpan harapan untuk dapat “sukses secara komersial” jika terus menghindari pekerjaan-pekerjaan tersebut. Saya mulai menerima pekerjaan yang dahulu tidak saya kehendaki, dan sikap menerima ini merupakan perubahan terbesar bagi saya. Saya terus berusaha untuk dapat beradaptasi. Untuk saat ini, LEENALCHI masih belum bisa dikatakan telah sukses. Ketika bertanya kepada diri saya sendiri, “apakah LEENALCHI sedang dinikmati secara luas sebagai sebuah band”, jawabannya adalah “belum”. Perjalanan yang harus ditempuh oleh band ini masih panjang. Apa yang masih harus dilakukan?Sebenarnya, kita harus membuang sangkaan bahwa penyebaran musik bisa dilakukan dengan mudah asalkan dapat menggubah lagu yang bagus. Kita harus membuang sangkaan tersebut karena pasar musik Korea tidak memiliki ruang khusus untuk musik band. Penantian masa yang tepat agar band dapat dinikmati secara luas pun sebenarnya bukanlah dalih yang masuk akal untuk keabsenan itu. Jika tidak ada orang yang dapat membentuk pasar bagi musik band, maka band-band di Korea harus berpikir dan berusaha keras mencari cara untuk memopulerkan musik mereka sendiri. Apakah Anda sedang mempersiapkan kegiatan ke luar negeri? Memang, saya harus terus mencari cara agar band kami dapat terus bertahan di dalam negeri. Namun, di luar negeri sudah ada pasar untuk musik band. Oleh karena itu, saya bermaksud untuk menargetkan pasar musik baik di dalam maupun di luar negeri. Tahun ini juga ada jadwal untuk melakukan pertunjukan di luar negeri. Bagaimana dengan album ke-2 yang perilisannya tertunda tahun lalu? Sebenarnya saya tidak menyangka akan menjadi sesibuk ini, sehingga waktu persiapan untuk album ke-2 tidak mencukupi. Selain itu, saya kira ada sesuatu yang dapat saya temukan lagi dari lima cerita utama pansori. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Saya ragu apakah musik yang dibuat dengan mengubah dan menambal repertoar pansori yang telah ada dengan cerita-cerita baru dapat menjadi musik yang sesuai dengan zaman sekarang. Di samping cerita baru yang memuat karakteristik zaman, saya merasa bahwa saya juga harus mencari cara pengungkapan yang baru dalam proses penciptaannya. Prioritas dalam komposisi album LEENALCHI ke-2 adalah membuat pansori kreatif yang merefleksikan jawaban atas semua keraguan tersebut. Karena itulah album ke-2 diperkirakan akan memakan waktu yang cukup lama. Jika memungkinkan, kami berencana untuk merilisnya pada akhir tahun ini.#Gugak
Features 2022 SPRING 567
Yeo Woo Rak, Festival Seni Kolaborasi Sesuai dengan namanya, Festival Yeo Woo Rak yang diselenggarakan Teater Nasional Korea mendapati reputasinya sebagai acara yang penuh gairah dan semangat, yang terbuka bagi semua orang. Festival ini dimulai dengan tujuan untuk memopulerkan gugak atau musik tradisional Korea melalui penafsiran baru secara modern. Dari tahun ke tahun, festival ini memberikan inspirasi dan imajinasi kepada para musisi, dan mengantarkan mereka ke dunia kreasi di mana para seniman dapat berkarya dengan berani. GongMyoung, grup musik dunia generasi pertama Korea, tampil di Festival Yeo Woo Rak yang diadakan di Teater Nasional Korea pada Juli 2017. Dalam perayaan ulang tahunnya yangke-20, grup ini menampilkan repertoar yang luas. Festival tahunan ini menafsirkan dan memadukan musik tradisional Korea dengan genre lain.Atas seizin Teater Nasional Korea Di Teater Nasional Korea yang terletak di tengah kota Seoul, atau lebih tepatnya di kaki gunung Namsan, sebuah festival yang penuh dengan gairah dan semangat berlangsung selama sebulan penuh pada bulan Juli. Festival Yeo Woo Rak, itulah namanya. Yeo Woo Rak, yang merupakan singkatan dari kalimat “Itulah musik kita” dalam bahasa Korea, dapat juga diartikan sebagai “musik tradisional yang dapat dinikmati bersama dengan orang-orang sezaman”. Dimulai sejak tahun 2010, festival ini menyambut perayaannya yang ke-13 tahun ini. Festival Yeo Woo Rak memperlihatkan upaya-upaya baru melalui musik tradisional yang disampaikan oleh para musisi dari berbagai bidang khusus, dan telah mendapati reputasinya sebagai medan eksperimen musik tradisional.Berbeda dengan kebanyakan pertunjukan gugak lainnya, tiket Festival Yeo Woo Rak selalu laris terjual. Pada akhir tahun 2020, penonton kumulatifnya mencapai 66.000 orang (tidak termasuk penonton daring) dengan rata-rata persentase penonton sebesar 93 persen, dan kalangan penggemarnya pun terus bertambah. Di balik bertambahnya kegemaran terhadap gugak di dalam budaya populer baru-baru ini, festival ini turut memainkan peranan penting. Selama ini musik tradisional terus menjadi genre musik yang terabaikan, dan bahkan hingga saat ini pun proporsi musik berbasis gugak di pasar musik sangatlah minim.Selama ini, banyak musisi yang pernah menjadi direktur artistik Festival Yeo Woo Rak, seperti pianis sekaligus komponis Yang Bang Ean (Ryo Kunihiko), artis musik jazz Youn Sun Nah, komponis sekaligus konduktor Won Il, pemusik cheolhyeongeum (gabungan gitar dan sitar) Yu Kyung-hwa; dan sejak tahun 2020, musisi geomungo bernama Park Woo Jae menjabat sebagai direktur kreatif festival ini. Yang Bang Ean dan Youn Sun Nah adalah musisi yang aktif berkarya di bidang musik populer dan jazz, sementara Won Il dan Yu Kyung-hwa adalah seniman lulusan jurusan musik tradisional yang memainkan musiknya melalui kolaborasi dan eksperimen yang kreatif berdasarkan karekteristik musik mereka yang unik. Keanekaragaman yang memudarkan batas-batas genre ini dapat dikatakan sebagai kunci suksesnya pembentukan tiga identitas utama festival ini: eksperimen, popularitas, dan kolaborasi. Poster untuk Festival Yeo Woo Rak, yang didirikan pada tahun 2010. Setiap bulan Juli, musisi dari berbagai genre menampilkan karya kreatif di Teater Nasional Korea. Tiket konser mereka secara teratur terjual habis.Atas seizin Teater Nasional Korea Para musisi yang pernah tampil di panggung festival ini pun umumnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok pertama adalah para musisi yang mempertahankan bentuk asli musik tradisional dan termasuk sebagai aset penting budaya takbenda, seperti penyanyi pansori Ahn Sook-sun atau shaman wanita Lee hae-kyung yang berasal dari Daedonggut, Provinsi Hwanghae. Kelompok kedua adalah musisi yang lebih muda satu generasi daripada musisi kelompok pertama. Meskipun musisi kelompok ini mengambil jurusan musik tradisional, namun mereka juga terampil berkolaborasi dengan musik jazz, avant-garde, musik pop, musik klasik barat, dan genre lainnya. Mereka adalah generasi musisi baru yang mengejar nilai seni, eksperimen, dan popularitas pada saat yang sama. Dapat dikatakan bahwa para musisi inilah yang telah memainkan peranan penting dalam Festival Yeo Woo Rak. Kelompok terakhir adalah musisi yang telah banyak menciptakan lagu yang bersifat eksperimental dan memiliki nilai seni yang tinggi dalam bidang jazz dan musik pop. Para musisi ini sangat berpengalaman memadukan musik tradisional dengan genre lain melalui kolaborasi yang aktif. Pianis Lim Dong-chang, komponis Jung Jae-il, dan rapper Tiger JK termasuk dalam kelompok terakhir ini.Selain itu, seniman-seniman dari genre lain seperti fotografer dan desainer visual pun turut aktif berkontribusi untuk menciptakan bentuk konser yang baru.#Gugak
Features 2022 SPRING 602
Kelahiran ‘Joseon Pop’ ‘Joseon pop’, yaitu musik gaya baru yang menggabungkan gugak (musik tradisional Korea) dan pop, sedang menarik perhatian. Musik ‘varian’ yang diharapkan untuk memperluas ruang lingkup K-pop ini bukan hal yang tiba-tiba muncul dalam waktu singkat. sEODo Band tampil di Olympic Park di Seoul, pada bulan Desember 2021, selama tur konser nasional, lanjutan dari “Pungnyu Daejang” (Masters of Arts), program audisi TV untuk persilangan pop dan gugak di jaringan kabel JTCB. Pertunjukan survival populer membawa musik tradisional menjadi perhatian khalayak umum yang lebih luas.© JTBC, ATTRAKT MJTBC “Gugak adalah musik bagi orang Korea, tetapi itu adalah musik terjauh dari orang Korea.” Kata seorang novelis pencinta musik ini yang menunjukkan realitas musik tradisional Korea sejak abad ke-20. Gugak adalah musik khas bangsa yang sudah diwariskan secara turun-temurun sejak lama, namun pernah terancam punah karena tidak sesuai dengan cita rasa zaman sekarang. Persepsi bahwa musik tradisional Korea adalah musik zaman dulu sangat terukir di benak masyarakat.Stereotip seperti ini menghalangi perubahan dan perkembangan gugak. Namun, secara paradoks, gugak juga berperan sebagai pengungkit dalam meningkatkan kebangkitan dan popularitas ‘Joseon pop’. Suatu hari ketika gugak, yang selama ini disingkirkan oleh masyarakat, muncul dengan mengenakan pakaian yang berbeda, perubahannya sangat terasa. Akan tetapi, ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa musik tradisional Korea berubah dengan gaya dan konsep baru di setiap generasi, dan warisan seperti itu saat ini menjadi bersinar setelah mengalami kebekuan yang lama. Kim Duk Soo (kedua dari kiri) dan Grup Seni Tradisional Cheong Bae menyajikan pertunjukan bersama di Gwanghwamun Art Hall pada Oktober 2015. Kim Duk Soo & Samulnori, kuartet perkusi yang diselenggarakan pada tahun 1978, mengadakan banyak konser di dalam dan luar negeri, menikmati popularitas besar. Grup Seni Tradisional Cheong Bae telah didedikasikan untuk menciptakan musiknya sendiri yang terinspirasi oleh seni pertunjukan tradisional Korea selama lebih dari 20 tahun.© Samulnori Hanullim Dukungan untuk PelestarianKebijakan pelestarian dan dukungan pemerintah memainkan peran penting dalam memastikan keberadaan musik tradisional pada akhir abad ke-20. Karena pelestarian musik tradisional, dimungkinkan untuk mengembangkan musik tradisional menjadi musik jenis yang baru. Sejak zaman dahulu, musik tradisional di negara atau masyarakat mana pun kehilangan cahayanya di hadapan perubahan zaman. Demikian juga dengan Korea. Musik tradisional Korea menghadapi krisis selama masa penjajahan Jepang sejak tahun 1910 hingga 1945, dan Perang Korea, yang dimulai pada tahun 1950, menyebabkan kehancuran sumber daya gugak termasuk pemusik tradisional. Setelah gencatan senjata pun, tidak mampu memberi perhatian terhadap musik tradisional di tengah kekacauan politik dan kesulitan ekonomi. Dan sejak tahun 1960-an, gelombang modernisasi yang menunjukkan industrialisasi dan urbanisasi semakin kuat, maka musik tradisional tersembunyi di balik bayangan dengan alasan bahwa itu seni yang pramodern.Namun, meski lemah di tengah krisis, upaya untuk melestarikannya terus berlanjut. Pada masa penjajahan Jepang, Leewangjik-Aakbu (lembaga musik Dinasti Joseon) memainkan peran tersebut. Sebutan Dinasti Joseon yang kehilangan kedaulatannya terdegradasi menjadi ‘Leewangga (Keluarga Kerajaan Lee)’, dan musik upacara istana kerajaan secara alami dikurangi atau dihapuskan. Dalam situasi tersebut Leewangjik-Aakbu mengumpulkan murid dan mengajar mereka sehingga musik istana kerajaan dapat bertahan dengan susah payah. Selama Perang Korea yang meletus setelah kemerdekaan dan pendirian negara, National Gugak Center dibuka di ibu kota sementara, yaitu Busan, dan memerankan peran inti untuk pemusik dan sumber daya gugak yang telah menjadi tersebar akibat perang. National Gugak Center yang telah pindah ke Seoul setelah gencatan senjata tahun 1953, berkembang terus hingga saat ini memainkan peran utama sebagai lembaga yang mendukung pelestarian dan penerapan musik tradisional.Undang-undang Perlindungan Warisan Budaya yang berlaku mulai tahun 1962 juga memainkan peran penting. Sesuai dengan undang-undang tersebut, peraturan ‘Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Nasional’ diterima. Ini adalah peraturan untuk menentukan bidang seni budaya tradisional yang penting sebagai objek pelestarian. Dengan peraturan itu, negara mendukung dan memberikan kualifikasi ‘master seni tradisional’ dan ‘lulusan kursus WBTb’ kepada orang yang telah mengembangkan keterampilan dan berkemampuan mewariskannya. Di kateogri musik tradisional, sejumlah lagu telah ditetapkan, termasuk Jongmyo Jeryeak (musik upacara untuk leluhur kerajaan), gagok (musik klasik Korea sejenis aria), pansori (musik tradisional Korea yang menampilkan seorang penyanyi dan penabuh gendang), daegeum sanjo (musik yang dimainkan dengan alat musik ‘daegeum’), dan lagu rakyat Gyeonggi. Hal yang menarik di sini adalah sebagian besar pemain alat musik, yang menarik perhatian dengan merintis genre baru gugak saat ini, adalah lulusan kursus WBTb Nasional. Misalnya, Yoon Jeong Heo dari Black String adalah lulusan kursus geomungo sanjo, Ilwoo Lee dari Jambinai adalah lulusan Piri Jeongak (Musik yang dimainkan dengan alat musik ‘piri’) dan Daechwita (musik band militer), Ahn Yi Ho dari LEENALCHI adalah lulusan kursus pansori, dan Lee Hee-moon adalah lulusan kursus lagu rakyat Gyeonggi. Coreyah, grup crossover gugak, mengadakan konser “Clap & Applause” (Baksumugok) di Aula Seni Guri pada September 2020, merayakan hari jadinya yang ke-10. Grup ini menampilkan perpaduan unik antara musik pop dan etnis dari seluruh dunia, memainkan karakteristik instrumen tradisional.© Yayasan Budaya Guri Penerimaan GugakPendirian jurusan gugak di Universitas Nasional Seoul pada tahun 1959 memiliki arti yang sangat penting. Gugak menjadi bahan penelitian akademis, dan sejak itu pendirian jurusan itu memainkan peran penting dalam memicu pembentukan jurusan gugak tidak hanya di Seoul, tetapi juga di universitas-universitas yang ada di berbagai daerah di seluruh negeri. Secara khusus, pembentukan jurusan gugak yang meningkat secara signifikan pada tahun 1970-an dan 1980-an, serta para lulusan yang mulai bekerja di bidang terkait, menjadi pendorong untuk pengembangan gugak.Tidak seperti generasi sebelumnya yang menyaksikan krisis hilangnya musik tradisional dalam pergolakan sejarah abad ke-20, generasi muda yang berpendidikan tinggi berpikir bahwa gugak harus mendekati masyarakat dengan kesan baru daripada berkonsentrasi pada konservasi dan pelestarian. Sebagai hasilnya, lagu-lagu kreatif yang sesuai dengan zaman sekarang mulai diciptakan berdasarkan berbagai unsur musik tradisional. Pada saat itu, ruang lingkup ‘penciptaan’ cukup luas. Menulis lagu baru berdasarkan lagu rakyat atau pansori yang secara relatif banyak dikenal masyarakat, atau memainkan alat musik tradisional dengan mengaransemen musik klasik Barat yang sudah terkenal juga termasuk dalam kategori ‘penciptaan’.Khususnya, samulnori, yang muncul pada akhir tahun 1970-an, memainkan peran utama dalam mempersempit jurang antara gugak dan masyarakat. Samulnori yang dibuat berdasarkan irama musik pertanian yang dinikmati oleh penduduk desa dalam masyarakat pertanian tradisional, merupakan musik menyenangkan yang dimainkan oleh empat alat musik perkusi, yaitu buk, janggu, kwaenggari, dan jing. Dengan menerapkan karakter dan unsur samulnori, para musisi gugak muda memberikan semangat baru pada musik tradisional yang sudah lama mundur dan menarik respons positif dengan pertunjukan yang dapat dinikmati masyarakat. Perubahan GugakPada tahun 1980-an, ketika pasar musik populer berkembang, lagu rakyat diciptakan untuk dinyanyikan dengan mudah oleh masyarakat dengan menggunakan ritme atau irama gugak. Genre yang disebut ‘lagu pop gugak’ ini diterima sebagai sebuah aliran musik populer dan juga berperan dalam memperluas golongan peminat gugak. Selain itu, pembentukan musik iringan yang menggabungkan alat musik Korea dan Barat memberikan pijakan untuk munculnya musik gugak fusion pada tahun 1990-an. Jimin BTS menampilkan tarian kipas tradisional di Anugerah Musik Melon 2018. Di acara akhir tahun, BTS menampilkan “IDOL” yang menampilkan tarian tiga drum J-HOPE dan juga tarian topeng Jungkook, yang mendapat respons antusias dari penonton.© Kakao Entertainment Corp. SUGA BTS muncul dalam video musik untuk “Daechwita,” judul lagu dari mixtape keduanya, “D-2” (2020). Lagu tersebut secara rampak menggabungkan ketukan trap dan suara instrumen tradisional dari daechwita, musik untuk prosesi kerajaan Dinasti Joseon.© HYBE Co., Ltd. Di sisi lain, gelombang globalisasi yang dimulai pada Olimpiade Seoul pada tahun 1988 menjadi stimulus lain. Saat pasar perdagangan dibuka, tatanan perdagangan baru terbentuk sehingga budaya Barat memasuki kehidupan sehari-hari banyak orang. Pada saat inilah pandangan untuk melihat kembali budaya kita mulai menyebar. Dalam suasana masyarakat seperti ini, lagu Bae Il-ho (1993) yang berisi tentang pesan untuk menggunakan produk pertanian domestik, menjadi sangat populer, dan pada tahun yang sama film Im Kwon-taek yang bertema pansori juga sukses besar dan disebut sebagai ‘film nasional’. Pada waktu yang sama, penyanyi pansori terkenal, yaitu Park Dong-jin (1916~2003) muncul di iklan TV mengenai produk farmasi dan menyerukan, “Barang-barang kami berharga!” Selama beberapa waktu, naskah iklan TV tersebut menjadi kata populer. Saat itu, pemerintah menetapkan tahun 1994 sebagai ‘Tahun Kunjungan ke Korea’ dan ‘Tahun Gugak’ untuk merayakan ulang tahun ke-600 kota Seoul dan mengaktifkan industri pariwisata. Melalui kebijakan seperti itu, pemerintah memacu upaya untuk menarik wisatawan asing, dan dalam prosesnya, gugak menjadi produk budaya yang mewakili Korea. Beberapa tahun kemudian, ketika krisis keuangan Asia menyebabkan kebangkrutan nasional, kegiatan seniman budaya juga sangat berkurang. Namun di sisi lain, hal itu memberi tantangan kepada banyak musisi gugak untuk menjawab pertanyaan ‘jenis musik apa’ yang harus diciptakan untuk dapat bertahan hidup. Sejak akhir tahun 1990-an, penyebaran internet memungkinkan untuk dapat mengakses berbagai musik di seluruh dunia dengan mudah baik bagi musisi gugak maupun masyarakat umum. Melalui ini, terdapat bahwa musik baru yang berdasarkan musik tradisional atau musik rakyat muncul di berbagai negara, dan musik seperti itu juga disebut ‘Musik Dunia’. Musik dari budaya lain seperti India dan Afrika telah menjadi sumber daya bagi musisi gugak untuk menciptakan jenis musik baru. Secara khusus, tidak seperti pertunjukan gugak di luar negeri sebelumnya yang terbatas pada musik tradisional, jumlah pertunjukan musik bergaya fusion seperti Puri, grup yang dipimpin oleh komponis Won Il, atau grup musik dunia GongMyong telah meningkat, dan mendapat respons positif di festival musik atau pasar rekaman luar negeri. Dengan demikian, perubahan dan transformasi juga diakui sebagai suksesi kreatif gugak dalam arti luas. Ketika UNESCO menempatkan arirang di dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan, alasan pencatatannya adalah ‘lagu lama masih dinyanyikan, dan pada saat yang sama diturunkan melalui penciptaan baru’. Potongan gambar dari konser daring penyanyi Lee Hee-moon “Minyo,” yang disiarkan langsung di portal internet Naver pada Juli 2021. Dirilis menjelang konser, gambar tersebut mewakili visualisasi fantastis dari karakter eponim yang dibuat Lee. Nama karakter tersebut merupakan parodi dari minyo, lagu daerah tradisional.Atas seizin Perusahaan Lee Hee Moon Kolaborasi dan SinergiMusik yang baru-baru ini menjadi populer sebagai genre baru bernama ‘Joseon pop’ memiliki sejarah dan latar belakang yang panjang. Kelahiran band seperti Black String, Jambinai, dan LEENALCHI, yang terkadang terlihat lebih dicintai di luar negeri daripada di Korea, juga dapat dilihat sebagai salah satu bagian dari tren ini. Festival Yeo Woo Rak, yang diselenggarakan oleh National Theater of Korea setiap tahun sejak tahun 2010, juga merupakan sebuah acara besar di dunia gugak dan telah menjadi semacam festival musik dunia yang memperkenalkan pemikiran dan karya musisi gugak yang berubah saat ini.Dalam tren ini, sikap seniman di bidang lain yang memperlakukan gugak dan pemikiran umum pun sedang berubah secara signifikan. Acara TV audisi yang ditayangkan oleh JTBC mulai September hingga Desember 2021 menampilkan semangat eksperimental bebas para musisi gugak, dan penonton bersorak untuk musik yang asing, namun memberikan sensasi. Saat genre lain seperti sandiwara, tarian, film, drama musikal, dan seni rupa mencoba perubahan yang berbeda, itu juga merupakan fenomena baru bahwa seniman tersebut secara aktif berkolaborasi dengan musisi gugak. Lee Hee-moon, sorikun (penyanyi pansori) telah bekerja sama erat dengan seniman dari berbagai bidang seperti fashion, video, dan video musik . Dalam wawancara baru-baru ini, dia berkata, “Melestarikan gugak itu memang penting, tetapi saya sering berpikir bahwa gugak merupakan senjata tersembunyi yang dapat mengubah seni lain.” Kita harus melihat apakah di masa depan ‘Joseon Pop’ dapat mendekati penggemar musik dunia di luar negeri yang mencari dan mendengarkan musik unik di seluruh dunia.#Gugak
Features 2021 WINTER 914
Merawat Warisan Sang Suami Cha Jeong-geum mengelola Jingkwang Culture, sebuah perusahaan yang memproduksi teh dari daun liar dan tembikar tradisional, bersama putranya. Tinggal di Hanok yang berjarak sekitar 1 km dari perusahaan selama sekitar 20 tahun. Dia mengatakan bahwa rumah ini adalah sumber kebanggaannya. Di kaki Gunung Geumhwa di Jinggwang-ri, Beolgyo-eup, Boseong-gun, Provinsi Jeolla Selatan, di situlah terletak perusahaan, rumah, dan perkebunan teh besar yang ia tanam dengan penuh perhatian. Bagian dalam(anchae) "Han Sang-hun Hanok." Rumah itu semula terletak di Hannam-dong, Seoul. Pada awal 1980-an, dibongkar dan dipindahkan sejauh lebih dari 300 kilometer ke Beolgyo. Provinsi Jeolla Selatan, tempat ia disusun kembali. Tidak adanya paku atau mortar di Hanok meminimalkan efek relokasi. Kalau berjalan menuruni tanjakan dari pintu masuk bertuliskan ‘Jinggwang Culture’, akan terlihat tempat pembakaran tembikar yang terbuat dari tanah liat, sanggar, dan dinding batu di sebelah kiri. Jika terus mengikuti dinding batu itu, akan nampak dua ruang besar yang terbagi di kedua sisinya. Di sisi kiri pada halaman berkerikil, berjajar tembikar tradisional. Di taman kanan bawah, ada pohon pinus, lampion yang terbuat dari batu, bunga teratai, dan paviliun. Di sekitaran dua ruang ini, ada beberapa rumah beratap, termasuk pabrik teh dan ruang pameran tembikar.Pada tahun 1979, yakni 42 tahun yang lalu, suami Cha Jeong-geum, Han Sang-hoon, mendirikan tempat tinggal di sini dengan impian besar untuk mengembangkan dan menghasilkan produk budaya yang berhubungan dengan sandang, pangan, dan papan tradisional. Dia membuat perkebunan teh liar di bawah kaki Gunung Geumhwa, membeli sawah di lerengnya, dan membangun tempat pembakaran tembikar. Setelah ia wafat di tahun 1998, istri dan anak-anaknya meneruskan usahanya.Teh daun yang diproduksi oleh Cha memang berbeda dengan teh hijau umumnya. Teh hijau dibuat menggunakan cara mengukus daun teh dengan uap bertekanan tinggi, dan kemudian digongseng dalam kuali. Teh hijau memiliki warna hijau bening, sementara daun tehnya sendiri berwarna kuning muda. Pohon teh ditanamnya di kebun teh liar tanpa menggunakan pestisida ataupun kompos. Itulah yang alasan mengapa teh di sini disebut ‘teh daun liar’ atau ‘teh daun Jinggwang’ untuk membedakannya dari teh hijau lainnya. Onggi dibuat dengan meniru bentuk tradisional daerah selatan, dengan ciri khas bagian mulut yang lebih lebar dari bagian bawah, bagian perutnya penuh, dan bagian bahunya lebar, yang sebelum dibakar dalam perapian dibalur dengan lapisan tembikar yang terbuat hanya dari Yakto(sejenis pupuk yang dihasilkan dari pembusukan kulit beras) dan abu dari rerumputan. Sekalipun mempunyai kebanggaan yang demikian, hal yang paling dia banggakan justru adalah ‘Rumah Tradisional Han Sang-hoon’. Cha Jeong-geum menikmati teh sore dengan cucu bungsunya, Se-ran, beristirahat setelah melakukan pengawasan terhadap Jingkwang Culture Co. Ini adalah perkebunan teh organik dan bisnis tembikar yang didirikan oleh mendiang suaminya, Han Sang-hun. Gunung Geumha, di kampung halamannya, Beolgyo, Provinsi Jeolla Selatan. RUMAH YANG DIBANGUN DENGAN BERPINDAHJika berjalan menanjak sekitar 1 km menelusuri jalan gunung dari perusahaan, maka akan terlihat sebuah rumah tradisional atau Hanok yang disebut ‘Rumah Tradisional Han Sang-hoon’. Rumah ini awalnya terletak di Hannam-dong, Seoul, namun ketika dibongkar karena perluasan jalan pada tahun 1980, sang suami membelinya dan kemudian memindahkannya ke tempat ini. Tidak seperti rumah-rumah ala Barat, Hanok dibangun dengan cara merakit kayu tanpa menggunakan paku atau perekat. Sang suami memberi nomor pada setiap bagian kayu, membongkarnya, dan memasangnya kembali sesuai dengan nomor yang tertera padanya. Karena ini adalah proses kerja yang menuntut ketepatan dan ketelitian, dibutuhkan waktu yang lama dan panjang untuk menyelesaikannya. Dia menceritakan kisahnya saat itu.“Waktu itu, keluarga saya tinggal di Seoul. Saya karyawan di suatu perusahaan dan membesarkan putra saya yang masih kecil, melainkan suami saya bolak-balik Seoul dan Beolgyo mengelola ‘Jinggwang Culture’. Suami saya bukan tipe orang yang suka berbicara secara detail, melainkan tipe orang yang tiba-tiba melakukan sesuatu sendiri. Setelah membeli Hanok di Hannam-dong, tiba-tiba dibongkarnya tahun depan, dan tahun berikutnya waktu saya melahirkan putri saya, saya datang ke sini dan mengetahui bahwa rumah itu sudah rampung dibangun kembali. Mengikuti lereng, Sarangchae ditempatkan di bagian bawah dan rumah utama di bagian atas, dan taman baru juga dibuatnya.”Jika masuk melalui gerbang, ada Sarangchae yang menyatu dengan Numaru yang menempel di salah satu ujungnya yang terbuka di tiga sisi. Ada taman kecil di depannya. Di hari-hari musim panas, Numaru adalah tempat favorit keluarganya untuk berkumpul. Berbaring di lantai yang dingin untuk menyejukkan tubuh dari teriknya siang hari, dan duduk-duduk sambil bersantap bersama.Pada malam hari, duduk di kelambu dan nikmati suasana malam pertengahan musim panas sambil menyaksikan tarian ngengat, mendengarkan nyanyian riang-riang, dan menghirup aroma bunga di taman. Bukan cuma di musim panas. Karena pemandangan alam yang selalu berubah sambil bersandar di pagar Numaru tidak mengenal musim. Di belakang Numaru, ada petak bunga yang memanfaatkan lahan miring. Meskipun kebun bunga ini kecil, ‘Jinggwang Culture’ berperan penting dalam memenangkan hadiah utama di ‘Kontes Taman Provinsi Jeolla Selatan 2021’. Para juri menilainya sebagai taman yang melestarikan keindahan tradisional, yang saat ini sudah langka. Jika menaiki tangga batu di sebelah taman bunga, akan terlihat rumah induk berbentuk L. Ada juga taman yang terawat baik di halaman utama. Namun, di bagian dalamnya ada pemandangan tak terduga. Di sana, bukan dapur tradisional dengan kompor kayu bakar, tetapi ada dapur modern dengan wastafel, kompor gas, dan mesin cuci. Kamar mandinya memiliki toilet flush, dan bak mandinya memiliki tirai shower. Lampu penerangan dipasang di langit-langit, dan fasilitas boiler juga terpasang dengan baik. PELESTARIAN DAN PERBAIKAN Pada awal tahun 2000, Kampanye Konser vasi Bukchon berlangsung di Seoul. Bukchon, tempat tinggalnya para elit Dinasti Joseon, adalah tempat di mana banyak Hanok elegan tetap bertahan. Salah satu kelompok swasta yang dibentuk secara sukarela oleh warga untuk melestarikan Hanok ini adalah ‘Perkumpulan Penyayang Hanok’. Metode yang dipilih oleh perkumpulan ini adalah dengan membeli Hanok, memperbaiki bagian yang kurang nyaman, dan tinggal di dalamnya. Cha, yang dekat dengan anggota perkumpulan ini, mengakhiri aktivitasnya di Seoul untuk mengelola ‘Jinggwang Culture’ yang ditinggalkan oleh suaminya. Sekalipun sejak mula ia sudah memiliki rencana untuk tinggal di Jinggwang-ri dan menempati Hanok buatan suaminya, tak dapat dipungkiri dia menemui banyak ketidaknyamanan untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Bersama anggota perkumpulan, ia memecahkan masalah satu per satu. Sebagai hasilnya, interior rumah Han Sang-hoon direnovasi secara praktis dan fungsional, dan dua tahun kemudian, pada tahun 2003, ia dan keluarganya mulai sepenuhnya tinggal di Hanok itu.Melestarikan Hanok tidaklah mudah. Karena rumah dibangun dengan bahan alami seperti kayu dan tanah, menjadikannya rumah yang baik untuk manusia dan juga untuk serangga dan hewan. Kayu, yang menjadi bahan utamanya, mudah berjamur. Serangga bermunculan di dinding tanah yang diisi dengan anyaman bambu dan dicampur dengan tanah dan jerami. Rayap menem- bus lubang pohon dan menggerogoti rumah dari dalam. Di masa lalu, sering dikata orang bukan hanya tikus tetapi juga ular ada di dalam rumah. Dibandingkan dengan bangunan Barat yang terbuat dari batu, Hanok, yang merupakan struktur kayu, kurang tahan lama dan memiliki umur yang lebih pendek. Demikianlah, jika ada Hanok yang terpelihara dengan baik sampai hari ini, itu karena adanya banyak usaha, uang, dan waktu yang telah dicurahkan ke dalamnya.Rumah yang ditinggalinya memiliki masalah yang sama. Kayu di dalam tetap bersih, tetapi bagian yang terkena udara luar menjadi berjamur dan menghitam. Karena sifat kayu, ada bagian yang melengkung seiring waktu. Pada dinding tanah juga tumbuh jamur di musim panas, dan bagian yang terkena hujan melemah dan tanahnya runtuh. Saat musim panas yang lalu, dinding batu runtuh karena hujan deras, membuat Cha dan putranya perlu membangunnya kembali selama lebih dari sepuluh hari. Bagian yang paling meresahkan adalah atap genteng, yang menunjukkan ciri khas Hanok. Benih yang tertiup angin, serta lumut dan kotoran burung, juga embun, semuanya merusak genteng. Ada kalanya kelelawar masuk melalui celah-celah genteng yang rusak dan hidup berkelompok di dalamnya. Cha membuat kue beras kukus bersama cucucucunya di ruang atas rumahnya. Atap genteng yang baru saja direnovasi di bagian luar (sarangchae) terlihat melalui jendela yang terbuka. Kelebihan rumah tradisional Korea adalah memungkinkan penghuninya untuk berkomunikasi dengan alam, tetapi juga membutuhkan perawatan dan perbaikan yang konstan. Kuali onggi berisi berbagai bumbu berjajar di dinding batu dan tanah di rumah Cha. Ayam-ayam itu dipanggang dalam tungku gerabah di JINGKWANG Culture Co. Dicirikan oleh tubuh bagian atas yang besar dan bahu yang lebar, kuali ini menghidupkan kembali gaya tempayan tradisional di wilayah selatan Korea. SUMBER KEBANGGAANBagi Cha. tinggal di Hanok tidak jauh berbeda dengan mengurus taman. Sebab, seperti halnya taman, jika ilalang yang tumbuh subur tidak dicabut tepat waktu akan menjadikan taman berantakan, demikianlah Hanok harus rajin dirawat dan diperbaiki.Ketika ditanya mengapa dia terus mengurus Hanok, dia menjawab:“Ketika ada orang datang dan melihat, kemudian dengan kagum mereka berkata ‘cantik sekali’ atau ‘bagus sekali’, itu memberi saya kekuatan. Tapi sebenarnya yang paling penting adalah kepuasan diri. Saya merasa begitu bahagia ketika saya bangun di pagi hari, membuka jendela dan melihat pemandangan luar. Padahal persendian jari-jarinya sampai bengkok karena kerja keras. Tidak ada rumah sebagus Hanok kalau dilihat dari sisi emosional. Bukan hanya saya, tetapi putra, menantu, dan bahkan sampai cucu saya yang masih kecil menyukai Hanok. Rumah ini adalah sumber kebanggaan bagi keluarga kami. ”Baru-baru ini dia membuat keputusan besar. Saya harus mengganti genteng, tetapi ada banyak pemikiran tentang apakah akan menggunakan genteng tradisional atau genteng baru. Atap Hanok di sekitarnya sudah diganti dengan genteng pelat baja ringan, kuat, dan semi-permanen. Anaknya mengatakan sudah waktunya untuk beralih ke genteng baja. Hal ini dikarenakan genteng tradisional memiliki masalah biaya dan perawatan yang besar. Faktanya, genteng tradisional menuntut biaya yang cukup besar untuk ditanggung oleh individu jika tidak mendapat dukungan pemerintah.“Yang namanya manusia, itu memang aneh. Awalnya, saya tidak suka dengan tampilan genteng pelat baja tetangga saya, tetapi semakin saya melihatnya, saya berpikir lumayan juga. Saya tidak tahu apakah itu rasionalisasi diri, tetapi pada akhirnya kami juga beralih ke genteng itu. Genteng tradisional memang bagus, tetapi harganya mahal dan sulit dirawat, jadi kita tidak bisa mengabaikan kepraktisannya. Kami membiarkan genteng tradisional yang ada apa adanya, membingkainya di atasnya, dan memasang genteng pelat baja di atasnya. Setelah melakukan perubahan itu, saya merasa lega bahwa saya tidak perlu khawatir tentang atap untuk 50 tahun ke depan.”Kalau dipikir-pikir, sebenarnya jadi pertanyaan juga apakah mungkin bisa hidup nyaman di Hanok yang dipertahan kan seperti asalnya di masa lalu. Orang-orang jauh lebih tinggi daripada di masa lalu, dan sulit untuk hidup tanpa meman faatkan peradaban yang membuat hidup lebih nyaman, seperti dapur dan kamar mandi modern, AC, dan penahan panas. Tidak mudah mendapatkan bahan untuk merawat Hanok tradisional, dan pengrajin pembuat Hanok seperti itu sekarang sudah jarang bisa ditemui. Karena itulah, Hanok menelan biaya yang jauh lebih tinggi daripada rumah bergaya Barat untuk membangun atau melestarikannya. Tentu saja, ada Hanok yang perlu dilestarikan secara terpisah, seperti aset budaya, tetapi pendekatan yang berbeda diperlukan untuk rumah tempat orang menikmati kehidupan sehari-hari. Yakni dengan mempertahankan karakteristik Hanok tradisional, tetapi membutuhkan perubahan fungsional agar sesuai dengan kehidupan modern.Kini, dia tidak lagi tinggal di Rumah Tradisional Han Sang-hoon. Karena tidak ada cukup ruang untuk tiga generasi, termasuk anaknya yang sudah menikah dan cucunya, untuk hidup bersama. Dia tinggal di rumah berdinding tanah yang dibangun suaminya di atas bukit di taman Jinggwang, dan putranya serta istrinya pindah ke rumah berdinding bata di sebelahnya. Rumah Tradisional Han Sang-hoon, rumah genteng berdinding tanah, rumah genteng berdinding bata... . Tak berlebihan rasanya jika dikatakan ketiga rumah ini tak lain sejarah transformasi Hanok yang berubah mengikuti alur perkembangan zaman dan masyarakat.#hanok
Features 2021 WINTER 875
Hidup Harmonis dengan Alam Banyak orang memilih pindah dari apartemen dan menetap di rumah yang independen agar terlepas dari masalah yang tidak nyaman seperti ruang sempit dan kebisingan antarlantai. Beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang yang memilih Hanok sebagai alternatif hidup di apartemen. Hanok juga menjadi pilihan dari pasangan yang telah tinggal selama enam tahun di kaki Gunung Bukhansan yang terletak di pinggiran Seoul. Lee Byeong-cheol dan istrinya, Kim Eun-jin, mengobrol di meja dapur di Hanok dua lantai mereka yang dibangun khusus di Desa Hanok Eunpyeong enam tahun lalu, ketika mereka menyerahkan kehidupan di kompleks perumahan multi-unit. Rumah tersebut memiliki jendela berukuran besar sehingga mereka dapat menikmati alam sekitar. Hanok melewati dua titik perubahan besar di era modern. Perubahan pertama terjadi pada masa penjajahan Jepang di awal abad ke-20. Pada akhir abad ke-19, penjajah Jepang datang ke negeri ini dan mulai menetap di area Chungmuro dan Hoehyeon-dong, yang terletak di kaki Gunung Namsan di Seoul. Kemudian, ketika jumlah orang Jepang yang masuk meningkat dan kebutuhan akan daerah pemukiman lain bertambah, pemerintah mulai mengalihkan mata ke daerah Bukchon, di mana berjajar Hanok kelas atas orang Joseon.Jeong Se-gwon (1888-1965), seorang pengembang perumahan yang memberikan banyak sumbangan untuk kemerdekaan dan kelompok gerakan nasional dan kemudian dianiaya oleh pemerintahan kolonial Jepang, berpikir bahwa Bukchon, yang memiliki sejarah ratusan tahun sejak Dinasti Joseon, tidak boleh dibiarkan berubah menjadi desa tempat tinggal ala Jepang. Ini membuatnya membeli Hanok besar di daerah Bukchon, membagi tanah menjadi bagian-bagian kecil, membangun Hanok kecil, dan kemudian menjualnya kepada orang Korea. Inilah yang menjadi latar belakang munculnya ‘Hanok Perkotaan’ dengan struktur berbentuk huruf Han-geul ‘ㅁ’ dengan halaman tengah berposisi di bagian tengah. Akibatnya, orang Korea dapat melindungi hak atas perumahan mereka dari Jepang, dan Bukchon, desa Hanok di Seoul, dapat tetap bertahan hingga hari ini.Perubahan kedua terjadi pada tahun 2000-an. Saat itu Hanok terancam dibongkar satu per satu karena dianggap tidak sesuai lagi dengan gaya hidup modern. Oleh karena itu, Pemerintah Metropolitan Seoul memperkenalkan ‘sistem pendaftaran Hanok’ sebagai langkah untuk melestarikannya. Tujuannya adalah untuk membantu meningkatkan lingkungan hidup masyarakat yang tinggal di Hanok dan melestarikan warisan budaya dengan mensubsidi sebagian biaya pemeliharaan dan pengelolaan rumah. Desa Hanok Eunpyeong yang sudah ada sejak 2010, lahir dalam tren ini. Terletak di barat laut Seoul, desa itu memutarbalik kebijakan umum untuk mengembangkan area pilihan kota baru menjadi kompleks apartemen skala besar, dan menunjukkan kemungkinan bahwa kompleks Hanok juga bisa menjadi tipe hunian yang menarik. Lee Byung-cheol, yang telah bekerja di bidang IT setelah mengambil jurusan teknik perkotaan di universitas, dan Kim Eun-jin, yang baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai penulis siaran, juga tinggal di sini. SENANG NAN BAHAGIA Pasangan suami istri itu mengatakan bahwa mereka tipikal “orang-orang maniak apartemen” yang tidak pernah mempertimbangkan jenis perumahan lain selain apartemen. Kemudian sesuatu terjadi yang menjadi titik balik dalam hidup mereka.“Sebelum kami membangun Hanok di sini, kami tinggal di sebuah apartemen di Wangsimni, Seoul. Seperti kebanyakan orang, kami juga mengalami berbagai kebisingan, termasuk suara orangorang yang berjalan dari lantai atas. Karena kebisingan antarlantai, akibatnya ketika kami bertemu tetangga di lift, kami tidak bisa saling menyapa dengan wajah tersenyum. Selain itu, saya hanya bisa melihat jendela rumah lain atau dinding bangunan di luar jendela. Kalau dilebih-lebihkan sedikit, apartemen itu lebih seperti penjara pengap. Kami memerlukan perubahan.”Inilah yang menjadi alasan pasangan itu memutuskan untuk meninggalkan apartemen. Mereka mengaku luluh hati oleh pemandangan Bukhansan di Desa Hanok Eunpyeong saat sedang mencari lahan untuk membangun rumah susun.“Air di lembah yang mengalir di antara pegunungan itu jernih, dan ikan-ikan berenang bebas di air yang jernih. Ada juga kuil yang indah, Jingwansa, di dekatnya. Sampai-sampai saya berpikir, ternyata memang ada, ya, nasib yang mempertemukan tanah dengan alam.”Yang menarik adalah alasan mengapa pasangan yang semula berencana membangun rumah terpisah ala Barat ini berubah pikiran untuk membangun Hanok. Pasangan itu memutuskan bahwa Hanok akan lebih cocok bagi mereka untuk menghargai keindahan alam yang terlihat dari lokasi tempat rumah itu dibangun. Pada tahun 2016, ketika rumah itu selesai, pasangan itu menamainya ‘Nakrakheon’. Yang berarti ‘Senang dan Bahagia’. Secara umum, bangunan barat dan Hanok berbeda dalam struktur dan bahan. Bangunan Barat yang dipanaskan dengan perapian mau tidak mau harus memiliki dinding yang tebal. Karena bahan utamanya adalah bahan yang berat, jendela harus kecil untuk menopang berat dinding dan atap. Selain itu, saat rana kayu dipasang di jendela, hubungan visual dengan alam di luar otomatis terputus.Ternyata Hanok Berlawanan dengan sifat bangunan Barat tersebut. Pertama-tama, karena bahannya adalah kayu, yang merupakan bahan yang relatif ringan, lebih menguntungkan untuk membuat jendela lebih besar. Bahkan, untuk mencegah kayu membusuk, justru jendela harus dibuat besar untuk memudahkan ventilasi, dan jendela itu ditutup dengan kertas. Di pertengahan musim panas, pintu bisa dilipat dan digantung di langit-langit. Dengan demikian, Hanok mampu memiliki karakter yang sangat terbuka. Oleh karena itu, untuk dapat melihat pemandangan dari dalam, rumah dibangun dengan mempertimbang kan ketinggian, arah, dan sudut pandang. Berkembanglah apa yang disebut ‘chagyeong’, yang memungkinkan tuan rumah memandang dan menikmati alam seperti taman di rumahnya sendiri, karena jendela bukan sekadar bagian dari struktur fungsional tetapi sebagai bingkai yang berisi pemandangan luar yang berubah sesuai dengan musim.“Coba lihat sini. Daun musim gugur sangat indah sekarang, dan kalau musim dingin tiba, kita dapat melihat salju putih menumpuk, dan waktu musim semi, pemandangan yang tadinya tidak berwarna berubah menjadi kuning-hijau. Melalui jendela, kita dapat bertemu alam, yang mengulang-ulang kehidupan yang lebih berat daripada yang kita jalani sebagai manusia. Semua itu membuat saya berpikir tentang banyak hal, termasuk bagaimana cara melestarikan alam.”Kim Eun-jin, yang duduk di meja dapur berjendela besar, berkata sambil menunjuk ke pemandangan luar. Di luar bingkai yang terbuat oleh dua pilar dan atap, daun berwarna merah dan pohon zelkova dengan daun kuning berdiri tanpa melanggar batas wilayah masing-masing. Tarian kelompok dari daun berwarna-warni yang tertiup angin musim gugur menambah keindahannya.Ketika melihat Hanok dari luar, sisi dan garis bangunan yang terbagi secara estetis itu terlihat indah, dan ketika melihat dari dalam ke luar, terasa kembali bahwa pada akhirnya yang menjadi kunci tak lain adalah pemandangan alam. Aula berlantai kayu yang terletak di lantai dua menghadap ke halaman depan. Kim memilih bunga liar untuk ditanam di halaman karena keindahannya yang sederhana namun tetap bertahan. Dia menikmati mereka mekar dan memudar dalam perubahan musim. Pemandangan spektakuler Gunung Bukhan di kejauhan terlihat dari jendela di sebelah kamar tidur. Untuk menikmati pemandangan sepenuhnya, jendela dipasang dari lantai ke langit-langit daripada jendela kisi kayu tradisional yang berlapiskan kertas murbei. KEELOKAN PEKARANGAN Pekarangan juga merupakan sumber pesona yang tidak boleh dilewatkan dari Hanok. Tidak seperti bangunan Barat di mana dinding menjadi pagar, untuk Hanok yang terbuka ke luar, pagar tembok menjamin privasi tuan rumah. Namun, secara umum, tembok ini tidaklah terlalu tinggi. Secara tradisional, dinding terbuat dari bahan yang relatif murah seperti batu dan tanah, sehingga tidak ditumpuk tinggi untuk mencegahnya hancur oleh air saat hujan deras di pertengahan musim panas. Selain itu, dinding rendah memiliki kelebihan karena dapat melihat pemandangan dengan mendalam, mulai dari pandangan dekat, tengah, dan jauh dari dalam rumah. Halaman yang dibuat antara bangunan dan pagar tembok berfungsi sebagai penyangga yang secara fisik menghubungkan bagian dalam dan luar rumah yang sepenuhnya milik pribadi tuan rumah.“Ada tetangga kami yang membangun Hanok dalam waktu yang sama dengan kami. Mereka sebelumnya juga tinggal di apartemen, dan mengatakan bahwa mereka selalu memerlukan pergi ke perkemahan atau ke mana pun di akhir pekan bersama kedua putri mereka. Karena merasa bosan dan suntuk di rumah, anak-anak merengek ingin keluar. Namun, semuanya berubah sejak mereka membangun Hanok di lingkungan ini. Mereka tidak perlu ke mana-mana lagi, di musim panas kami membuat kolam renang mini di halaman untuk bermain air, dan di musim dingin kami membuat panggangan dan barbekyu. Itu berarti hidup mereka menjadi jauh lebih kaya.”Lee Byung-cheol, sang suami, yang menceritakan kisah itu, mengatakan, “Ketika saya tinggal di apartemen, saya terus berusaha keluar dari rumah kapan pun saya punya waktu, tetapi setelah saya pindah, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.” Istrinya, Kim Eun-jin, menyetujui pendapat itu dan melanjutkan.“Saya sengaja membawa bunga liar dan menanamnya di halaman. Evening primroses, iris, dan hollyhock. Saya pikir gaya bunga liar yang sederhana namun memberikan kesan yang lekat lama di hati itu menyerupai Hanok. Ketika bunga yang satu gugur, bunga lain mekar, dan ketika bunga yang lain itu gugur, bunga yang satu itu mekar lagi... . Bukan hanya kami saja yang tinggal di rumah ini, tetapi juga bunga-bunga ini.”Di antara unsur-unsur tradisi, yang dimaksud dengan ‘warisan’ adalah mengikuti titik yang harus dituju dan dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan zaman. Di sisi lain, bersikeras tanpa syarat pada yang lama tanpa mempertimbangkan nilai tidak lebih dari ‘mengulang-ulang’. Apa yang dipilih pasangan itu, tentu saja, ‘warisan’. WARISAN YANG PRAKTIS “Ketika saya memutuskan untuk membangun rumah independen, kami memutuskan untuk membangun Hanok, tetapi harus praktis dalam fungsi dan bergaya modern agar sesuai dengan gaya hidup saat ini. Jadi, untuk menikmati pemandangan di luar sepenuhnya, kami memilih jendela kaca daripada jendela kertas. Saya juga tidak membuat atap rumah menjadi terlalu panjang. Jika tiang penyangga terlalu tebal, mungkin dapat terlihat berat, jadi kami membuatnya setipis mungkin. Kami tidak ingin ‘terperangkap’ tinggal dalam Hanok dan menyesuaikan diri tinggal di dalamnya hanya karena kami ingin tinggal di Hanok. Rumah harus dibangun agar sesuai dengan kehidupan kita.” Kata sang suami. Nyatanya, lantai satu dan dua rumah ini memberikan kesan yang sama sekali berbeda. Lantai pertama dibangun dengan struktur pelat beton dan berisi ruang tamu, ruang cuci, lemari sepatu, dan halaman. Ini adalah ruang dengan kegunaan yang sulit ditemukan di Hanok pada umumnya. Di sisi lain, lantai dua, yang dirancang berdasarkan estetika tradisional yang unik untuk Hanok, dirancang dengan Daecheong yang sejuk untuk pasangan suami istri itu menikmati teh. Di sebelah aula utama ada dapur. Di lantai dua, jendela kaca di antara pilar-pilar dibuat untuk meneruskan cahaya matahari dan pemandangan alam. Struktur modern dan bahan tambahan ini selaras dengan baik dengan sifat kasau kuno Seokaraetulang-tulang penyangga atap) dan Seonjayeon(ujung tempat atap saling bertemu).“Hanok bisa bertahan selama 100 atau 200 tahun jika dirawat dengan baik. Karena tidak menggunakan paku, jika ada masalah pada bagian rumah, dapat membongkarnya dengan urutan terbalik saat dikonstruksi, diperbaiki dan dipasang kembali. Saya puas bisa tinggal di rumah dengan vitalitas yang begitu kuat, tetapi saya menantikan perubahan positif apa yang akan terjadi pada keluarga saya di masa depan,” kata sang istri. Berkembanglah apa yang disebut ‘chagyeong’, yang memungkinkan tuan rumah memandang dan menikmati alam seperti taman di rumahnya sendiri, karena jendela bukan sekadar bagian dari struktur fungsional tetapi sebagai bingkai yang berisi pemandangan luar yang berubah sesuai dengan musim.#hanok