Penyanyi Lee Hee-moon menghibur dan mengejutkan penonton dengan penampilan yang melenceng dari akar musik rakyat Korea. Dulu ia dikenal sebagai penyanyi yang “nyeleneh” dalam gugak (musik tradisional Korea), tapi sekarang ia menjadi ikon musik funky fusion.
Lee Hee-moon tampil di Ruang Elgar di Royal Albert Hall London pada September 2017. Sebuah program di Festival K-Music ke-4 yang diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan Korea di Inggris, “Lelaki Korea” direncanakan oleh Lee dan band jazz Prelude, dan konser mereka juga menampilkan NomNom, duo penyanyi tradisional. Ditayangkan pada tahun 2016 di Teater Nasional Korea, pertunjukan yang sangat terkenal menyatukan Gyeonggi minyo dan jazz.Foto oleh Kii Studios Photography & Film; Atas izin Lee Hee-moon Company
Tiny Desk Consert merupakan seri video pertunjukan musik langsung yang diadakan oleh Radio Publik Nasional (NPR) di Washington, D.C. dan diunggah ke YouTube. Acara ini sangat kaya dan menghibur. Dengan ratusan genre pertunjukan yang sudah diunggah, sudah pasti band Korea SsingSsing juga ada di sana. Band itu mengeluarkan lagu perpaduaan antara musik rok, disko dan psikedelik, yang digubah dari lagu rakyat Korea tradisional. Sangat mengejutkan. Bob Boilen, pembawa acara “All Songs Considered” yang diadakan oleh RPN, menyebut penampilan itu sebagai salah satu yang paling diingat dalam Tiny Desk Concerts sepanjang waktu.
Saat itu bulan September 2017. Band yang terdiri dari enam orang itu sedang meniti jalan kesuksesan. Di Washington, band ini tampil juga dalam sebuah konser di Pusat Seni Pertunjukan John F. Kennedy, yang menampilkan figur-figur terkenal dalam dunia hiburan. Namun, pada tahun 2019, band itu tiba-tiba bubar.
Pada suatu hari di musim dingin, penyanyi utama band itu, Lee Hee-moon, 43 tahun, duduk di Itaewon, sebuah daerah di Seoul yang menjadi tempat tujuan wisatawan, orang asing dan tentara-tentara Amerika, bercerita sedikit mengenainya.
Lee memang ditakdirkan menjadi penyanyi. Ibunya, Ko Ju-rang, adalah maestro penyanyi minyo, atau lagu rakyat Korea tradisional, dan begitu mulai bisa bicara, ia pun mulai menyanyi. Dalam usia remajanya, ia sangat terkesan dengan penyanyi pop Korea dan Barat. Ia ingin menjadi penyanyi sekaligus penari. Lalu, ia belajar seni visual di Jepang, dan setelah kembali ke Korea, ia memproduksi video musik sebagai asisten sutradara.
Baru ketika usianya menginjak akhir 20-an, Lee kembali ke lagu rakyat tradisio-nal. Ketika menyanyi, ia merasa seperti “kesurupan.” Tampaklah bahwa menjadi penyanyi utama SsingSsing hanya sebuah identitas artistiknya, yang tentu saja terus berubah.
Band SsingSsing
Lim: Ketika pertama kali saya melihat SsingSsing menyanyi, saya teringat drama musikal “Hedwig dan Inch Si Pemarah.” Saya ingin tahu dari mana inspirasi Anda datang.
Lee: Penampilan visual band itu terinspirasi dari film “Moulin Rouge,” penyanyi seperti Madonna dan Min Hae-kyung, dan koreografer Ahn Eun-me, yang sudah saya kenal secara personal selama bertahun-tahun. Ahn adalah pionir seni visual yang sangat kuat. Dalam produksinya “Putri Bari: Dunia Ini,” yang pertama kali ditampilkan pada tahun 2007, saya mendapatkan tawaran bernyanyi sebagai sang putri. Awalnya, saya canggung berperan sebagai perempuan, tapi saya yakin saya bisa melakukannya dengan baik. Ketika harus menekan emosi, itu murni hanya aksi belaka; tapi sesuatu dalam diri saya tampil secara spontan ketika menyanyi dengan peran itu.
Lim: SsingSsing tampil dalam konser di Korea tak peduli seberapa besar tempatnya atau berapa banyak penontonnya. Tapi, rekaman untuk acara Konser Tiny Desk NPR pasti berbeda dari pertunjukan-pertunjukan itu. Bagaimana rasanya?
Lee: Kami tidak punya banyak informasi mengenai acara NPR, jadi menganggapnya sama seperti pertunjukan lain. Kami sedikit bingung ketika diminta menyanyi sambil berdiri di pojok ruangan tanpa monitor atau pengeras suara. Kalau saja kami tahu acara ini akan menarik perhatian banyak orang dan akan ada selamanya di YouTube, kami akan berusaha tampil lebih baik. Ketika kami menampilkan “Hangangsu Taryeong” (Lagu Sungai Han), saya bahkan menyanyikannya dengan lirik yang salah dan berimprovisasi saat itu juga. Namun, video itu ternyata bagus, mungkin karena penata suaranya sangat mumpuni.
Lim: Saya berharap SsingSsing mendapatkan perhatian dunia, seperti Psy dengan lagunya “Gangnam Style,” tapi band ini bubar ketika berada di puncak karir. Mengapa?
Lee: Setiap anggota punya ciri khas masing-masing. Itu menjadi kekuatan kami ketika kami bersama, punya gaya sendiri ketika di panggung dan tidak pernah campur tangan apa yang dilakukan anggota lain. Tampaknya itu justru mempermudah kami berjalan terpisah, sama halnya dengan semua hubungan pasti melalui banyak perubahan. Sekarang, kami semua sudah menemukan tempat masing-masing: Jang Young-gyu, sutradara musik, membentuk band baru yang bernama “Lee Nalchi” untuk menyalurkan keinginan bermusiknya dan Chu Da-hye dan Shin Seung-tae juga menekuni musik mereka. Hal yang sama terjadi pada saya.
Lim: Bagaimana SsingSsing Terbentuk?
Lee: Pada tahun 2014, saya tampil dalam sebuah konser yang berjudul “Kwae” (Kesenangan Sepenuh Hati), interpretasi mo-dern gut, ritual paranormal tradisional. Jang Young-gyu, sutradara musik konser itu, menawari saya bermain minyo. Setelah itu, kami mengajak gitaris Lee Tae-won, penabuh drum Lee Chul-hee, dan penyanyi Shin Seung-tae dan Chu Da-hye, dan enam orang ini membentuk SsingSsing.
“Kadang-kadang, saya merasa bukan saya yang melakukannya. Penonton memberi saya energi. Saya menyerapnya dan mengembalikannya kepada mereka melalui penampilan saya, dan saya sangat kelelahan setelah acara itu selesai.”
Suara Sendiri
Penampilan perdana Lee dalam “Project NAL” di Aula Pertunjukan Besar dari Pusat Warisan Tak Berwujud pada Mei 2019. Untuk menonjolkan esensi suaranya, instrumen melodi dihilangkan; hanya tiga perkusi - janggu (drum jam pasir), drum Barat dan synthesizer modular - yang menemaninya.Foto oleh Kwak Ki-gon; Atas izin Lee Hee-moon Company
Lim: Baru-baru ini, Anda tampil dalam konser dengan judul “Proyek NAL” dan Anda juga mengeluarkan album “Obangsingwa” (yang berarti “bersama para dewa di lima penjuru”). Anda pasti sangat sibuk. Menurut Anda, bagaimana arah seni Anda di masa yang akan datang?
Lee: Saya ingin tahu suara saya tanpa label “dari SsingSsing.” Jadi, saya memaksa diri saya tampil dalam serangkaian pertunjukan eksperimental. Proyek NAL menampilkan suara saya dikombinasikan dengan suara perkusi Korea janggu (drum yang berbentuk seperti jam pasir), drum Barat dan synthesizer modular; sedangkan dalam SsingSsing, penampilan sebagian besar hanya memakai minyo Gyeonggi (lagu rakyat dari Provinsi Gyeonggi), dengan tambahan genre lain seperti japga (lagu rakyat jelata), santaryeong (lagu pegunungan) dan hoesimgok (lagu sedih). Namun, pendekatan saya terhadap lagu ini berbeda dari pendekatan yang saya lakukan ketika menyanyi bersama SsingSsing.
Lim: Apa bedanya visual Proyek NAL dan SsingSsing?
Lee: Saya mengadopsi visual pengantin perempuan, yang menggambarkan kelahiran saya kembali setelah meninggalkan SsingSsing. Saya memakai setelan pakaian laki-laki berwarna putih dengan rok putih yang dilekatkan di bagian belakang, dengan tata rias pengantin perempuan di wajah saya.
Lim: Kita mundur ke belakang sejenak. Bagaimana awalnya Anda menyanyi minyo?
Lee: Ketika bekerja di produksi video musik, saya menemani ibu saya ke konser minyo dan tanpa sadar saya ikut menyanyi. Maestro penyanyi Lee Chun-hee, teman ibu saya, sedang bersama kami dan ia mendengarkan saya menyanyi. Beberapa hari kemudian, tanpa sepengetahuan ibu saya, ia menelepon saya dan bertanya apakah saya mau menyanyi secara profesional. Ibu saya tidak ingin anaknya menjadi seniman musik tradisional karena ia sangat tahu bahwa pekerjaan itu sangat berat.
Lim: Bahkan sebelum bergabung dengan SsingSsing sebagai penyanyi utama, Anda dikenal sebagai pengajar berijazah minyo Gyeonggi, Kekayaan Budaya Tak Benda Korea No. 57. Apa yang membuat minyo sangat menarik bagi Anda sehingga Anda berganti haluan di usia yang relatif sudah lanjut?
Lee: Minyo Gyeonggi memiliki ciri suasana hati yang riang dan melodi yang dinamis dan enak didengar. Lagu ini memerlukan banyak teknik vokal. Lagu-lagunya ceria dan menyenangkan tapi membuat Anda merasa sedih dan berurai air mata. Misalnya lirik lagu “Cheongchunga” (Nyanyian Pemuda): “Waktu mengalir seperti sungai, dan manusia menua seperti angin.” Menyanyikan lagu-lagu sedih dengan tarian yang riang membuat pikiran Anda sangat rumit, dan ini seperti komedi gelap.
Ini bedanya dengan minyo Gyeonggi dan namdo sori, atau lagu rakyat dari provinsi-provinsi di bagian selatan. Pansori (lagu naratif) dimainkan dengan kunci minor (gyemyeonjo), penuh dengan penderitaan dan kesedihan.
Humor Penuh Air Mata
Lim: Apakah Anda pernah merasakan emosi ketika tampil di panggung?
Lee: Ketika konser Proyek NAL diadakan di Pusat Warisan Budaya Tak Benda Nasional di Jeonju pada bulan Mei 2019, kami meminta sekitar 250 penonton untuk duduk di panggung supaya lebih menikmati suaranya. Lagu terakhir waktu itu adalah “Odolttogi,” lagu rakyat dari Pulau Jeju, dan saya dipenuhi perasaan yang tidak tergambarkan menyanyi bersama dengan orang-orang yang bertepuk tangan dan duduk sangat dekat dengan saya.
Lim: Di panggung, tampaknya Anda menjadi shaman atau semacam sosok spiritual. Apakah Anda pernah berada dalam keadaan trans ketika tampil?
Lee: Kadang-kadang, saya merasa bukan saya yang sedang tampil menyanyi. Penontonlah yang memberi saya energi. Saya menyerapnya dan mengembalikannya melalui penampilan saya, dan saya sangat kelelahan setelah acara selesai. Baru-baru ini saya tampil di Studio Senggi di daerah Hongdae, tempatnya sangat penuh. Mungkin ini menyebabkan berkurangnya oksigen dan saya kehabisan nafas. Di akhir konser, saya mengungkapkan perasaan itu melalui adegan pingsan.
Lim: Saya penasaran musik atau penampilan seperti apa yang akan Anda pertunjukkan kepada dunia di masa yang akan datang.
Lee: Sepanjang tahun ini, saya akan melanjutkan “Proyek Ego,” seri konser yang mengkombinasikan jazz dan minyo. Saya juga akan meluangkan waktu untuk karya awal produksi monodrama musikal. Baru-baru ini, saya membaca buku berjudul “Lahirnya Gangnam” yang memantik saya membuat drama mengenai isinya. Saya besar di daerah Gangnam, jadi bisa membuat cerita yang relevan – mungkin mengenai laki-laki muda yang tumbuh di wilayah modern dan penuh gaya, yang menjadi penyanyi minyo. Ini pasti akan menjadi proyek yang menarik.
Pertunjukan SsingSsing dalam Niny’s Desk Concerts di Washington D.C. pada September 2017. Campuran glam-rock dan Gyeonggi minyo sangat menarik minat. Para anggotanya adalah: dari kiri di belakang, Lee Chul-hee (drummer), Jang Young-gyu (direktur musik dan gitaris bass) dan Lee Tae-won (gitaris); di depan, Shin Seung-tae, Lee Hee-moon dan Chu Da-hye.Diambil dari video Youtube NPR Music
Perusahaan Lee Hee-moon mempersembahkan “Minyo Samcheolli” (Lagu-Lagu Rakyat dari Setiap Sudut Korea) di Space Seoro, sebuah teater kecil di Ogin-dong, Seoul, pada bulan Mei 2018. Menjelajahi tema penyanyi tradisional perempuan pada zaman modern, pertunjukan ini adalah proyek terakhir “Trilogi Cinta yang Dalam,” yang diproduksi oleh Lee dari 2016 hingga 2019. Lee sebagai gitaris berada di sebelah kanan.Foto oleh Lee Jin-hwan; Atas izin Lee Hee-moon Company
Lim Hee-yunReporter Budaya, The Dong-A Ilbo