Tidak mudah menjalani hidup dalam pelayanan dan berkorban untuk orang lain. Ini akan menjadi lebih berat ketika kita menjalaninya di tempat yang jauh. Robert John Brennan, yang dikenal juga dengan Ahn Kwang-hun, membuat keputusan besar lebih dari separuh abad yang lalu. Saat ini, sebagai “teman bagi mereka yang kurang mampu”, pastor katolik kelahiran Selandia Baru ini merasa Korea jauh lebih nyaman daripada tanah airnya.
Hampir lima menit berlalu sebelum wawancara dalam bahasa Inggris itu berubah menjadi bincang hangat dalam bahasa Korea — tanpa direncanakan. Sungguh indah. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Korea 53 tahun lalu, Pastor Robert John Brennan hidup sebagai teman bagi orang-orang Korea, khususnya mereka yang kurang mampu dan lemah. Ia juga bisa berbahasa Korea.
Saat ini ia adalah CEO Jaringan Warga Samyang, sebuah lembaga komunitas yang memberikan dukungan perumahan dan pendidikan vokasi kepada warga Samyang-dong, lingkungan sederhana di Distrik Gangbuk, bagian utara Seoul. Seperti terlihat dari namanya yang berarti “sebelah utara sungai”, Gangbuk adalah distrik tua, yang sangat berbeda dari Gangnam (“sebelah selatan sungai”), yang merupakan simbol kekayaan Seoul dan tren mutakhir, seperti dalam lagu Psy yang mendunia, “Gangnam Style.”
Bantuan dari Komunitas
Pastor Katolik kelahiran Selandia Baru Robert John Brennan tiba di Korea pada tahun 1966 dan sejak itu tinggal di negara ini, membantu mereka yang kurang mampu. Di antara orang Korea, ia dikenal sebagai “Pastor Ahn Kwang-hun, Sahabat Kaum Miskin.”
Samyang-dong adalah salah satu wilayah paling miskin di Gangbuk. Musim panas yang lalu, wali kota Seoul Park Won-soon memilih lingkungan ini sebagai lokasi untuk program “pengalaman tinggal bersama mereka yang kurang mampu” selama satu bulan. Park menghubungi Pastor Brennan, yang tinggal di Samyang-dong sejak tahun 1992, ketika ia menjadi pastor berkat rekomendasi mendiang Kardinal Stephen Kim Sou-hwan.
“Ketika saya datang pertama kali ke sini, rumah-rumah kumuh di lereng bukit menyita perhatian saya,” kenang Pastor Brennan. “Saya tahu penggusuran akan dilakukan juga di sana.”
Yang dilakukannya pertama kali adalah menyewa rumah. Tiga tahun kemudian, pengembang mulai merobohkan rumah-rumah di wilayah itu. Rumah Pastor Brennan berfungsi sebagai tempat berkumpul penduduk untuk membicarakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi bencana atau ada bahaya. “Banyak yang harus dilakukan, termasuk edukasi warga mengenai hak mereka dan menyediakan penampungan sementara untuk mereka,” katanya.
Pada tahun 1997-98 terjadi krisis keuangan Asia, yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Untuk membantu mereka, bersama dengan “Rumah Berbagi,” sebuah organisasi sosial yang dikelola oleh Gereja Anglikan di Korea, ia memberikan layanan konseling pekerjaan dan membuka pusat bantuan perumahan dan program kredit mikro.
Lalu, ia juga mendirikan Jaringan Warga Samyang. “Tujuannya adalah mendorong penduduk untuk bersatu, membentuk komunitas, dan menjalani hidup,” kata Brennan. “Sekarang, masalah yang biasa timbul ketika ada pembangunan, seperti pengusiran warga dengan bantuan preman, sudah berkurang dan kesejahteraan sudah meningkat.” Namun, ia mengatakan masih banyak yang harus dilakukan. Sekarang, fokusnya adalah aktivitas yang lebih terkait dengan kehidupan sehari-hari. “Kami membantu ibu-ibu yang baru melahirkan, membantu mengurus rumah dan mengirim relawan mahasiswa ke sekolah malam,” jelasnya.
Pastor dari Daerah Kumuh
Pastor Brennan menunjuk ke nama rekan senegaranya, Pastor Patrick Brennan, di Monumen Peringatan St. Columban untuk Para Martir Perang Korea. Monumen itu terletak di taman Lembaga Misi St. Columban di Seoul, mengenang tujuh imam Katolik yang meninggal selama Perang Korea. © Bank Berita
Perjuangan Brennan bersama mereka yang terusir dimulai di Mok-dong, bagian barat Seoul, pada tahun 1980an. “Dengan adanya Olimpiade Seoul tahun 1988, kota ini dibersihkan dan dipercantik,” katanya. “Pada saat itu, lingkungan di Mok-dong, yang terletak di sepanjang jalan dari Bandara Internasional Gimpo menuju pusat kota Seoul, diwarnai dengan rumah-rumah yang kumuh. Tentu ini membuat pemerintah tidak nyaman.”
Brennan bergabung dengan penduduk yang menjadi target pengusiran dan relokasi menentang pejabat, pengembang dan pihak ketiga yang disewa oleh mereka. “Bahkan mereka memukuli orang tua dan anak-anak sementara polisi hanya berdiri di dekatnya dan tidak berbuat apa-apa,” katanya.
Ikatan batin Brennan dengan penduduk Mok-dong itu berlanjut dengan indah sampai saat ini. Ia meresmikan pernikahan anak-anak muda yang ikut berjuang bersamanya. Mereka sekarang sudah separuh baya dan anak-anak mereka sudah seusia mereka pada saat Olimpiade Seoul diselenggarakan.
“Karena mereka memanggil saya ayah, anak-anak mereka memanggil saya kakek. Saya bahagia ketika mereka memanggil saya begitu,” katanya. Salah satu keluarga itu mengundangnya setiap akhir pekan, dan seperti yang dilakukan kakek-kakek lain, ia pun sangat menikmati waktu bersama “anak-anak” dan “cucu-cucu”-nya itu.
Pastor Brennan mengatakan pasti ada alasan kardinal mengirimnya ke dua distrik paling miskin di ibu kota ini, karena Kardinal Stephen Kim selalu mengkhawatirkan orang-orang yang lemah dan menderita, berdiri bersama mereka dan tetap mempertahankan martabat mereka.
“Gereja yang dimanfaatkan hanya sebagai gereja adalah hal terakhir yang sangat ingin saya lihat,” kata Brennan. “Gereja tidak seharusnya tidak menyuruh orang-orang datang tapi justru menghampiri mereka.” Itulah cara yang dilakukan Pastor Brennan sejak melakukan pelayanan di Korea pada tahun 1968. Penugasan pertamanya di kota tambang Jeongseon, di Propinsi Gangwon yang berbukit-bukit, yang tidak memiliki rumah sakit dengan perawatan medis memadai untuk penambang dan keluarganya. Ia sangat berperan dalam pendirian Rumah Sakit St. Francisco di sana. Ia memberikan pelayanan di Jeongseon dan pelabuhan Samcheok di dekatnya sampai tahun 1979.
Ia memberikan pelayanan selama 11 tahun di Gangwon dan satu tahun sabatikal di Universitas California, Berkeley untuk belajar teologi. Ia kembali ke Korea dan Kardinal Stephen Kim menugaskannya ke Mok-dong.
“Semoga Korea menjadi masyarakat yang lebih humanis; anak-anak muda bersikap lebih baik kepada generasi tua, mereka yang berkecukupan lebih memperhatikan yang kurang mampu.”
Keluarga Katolik yang Taat
Robert John Brennan lahir di Auckland, Selandia Baru, pada tahun 1941. Anak laki-laki pertama dari lima bersaudara dalam keluarga Katolik yang taat ini sangat cerdas dan tulus. Orang tuanya sempat berharap ia mendapatkan pekerjaan sekuler yang bagus.
Namun, hati Brennan muda tergerak oleh sebuah buletin gereja yang diterima ibunya secara periodik. Ia secara khusus tertarik pada artikel mengenai pastor Selandia Baru yang memberikan pelayanan di Korea sejak tahun 1933, ketika masih merupakan koloni Jepang. Kemudian, selama Perang Korea tahun 1950–53, tujuh pastor menjadi korban. “Ternyata salah satu pendeta itu memiliki nama keluarga yang sama dengan saya,” katanya. “Lalu, saya segera mengambil keputusan.”
Brennan membujuk orang tuanya agar ia diperbolehkan masuk Columban Mission Society, sebuah sekolah seminari di Sydney, Australia, pada tahun 1959. Setelah enam tahun belajar di sana, ia menjadi pastor pada tahun 1965. Tahun berikutnya ia ditugaskan memberikan pelayan di Korea.
Ia menghabiskan dua tahun pertamanya di Korea untuk mempelajari negara ini, termasuk bahasanya. Ia belajar di Lembaga Bahasa Myongdo di Jeong-dong yang kini sudah tutup. Lembaga ini dijalankan oleh pastor-pastor Fransiskus. Di sana ia berteman dengan mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Nasional Seoul, yang memberinya nama Ahn Kwang-hun.
“Mereka mengatakan kepada saya karakter Cina nama pertama saya Kwang-hun artinya ‘sebarkan dan suarakanlah cahaya terang,’” kata Brennan. Di antara orang-orang Korea, ia lebih dikenal dengan nama Koreanya daripada nama asli.
Keterikatan Sosial
Father Brennan poses with local residents in front of the office of the Samyang Citizens’ Network.He is CEO of the community organization established to provide vocational training and help resolve housing problems in Samyang-dong, a deprived neighborhood in northern Seoul. © Asan Foundation for Arts and Culture
Pada tahun 1969, ia bertemu mendiang Bishop Daniel Chi Hak-soon di Wonju. Bishop Chi sangat dikenal karena kecintaan dan pengorbanannya untuk kaum lemah dan kurang beruntung. Ia juga disegani karena perjuangannya melawan kediktatoran Park Chung-hee. Sejak pertemuan pertama mereka, Bishop Chi sangat mempengaruhi Brennan. Ia menjadi panutan Brennan karena aktivitasnya di dalam dan di luar gereja.
Brennan mengatakan ia sangat mengerti tentang kebijakan pengembangan wilayah perkotaan pemerintah Korea. “Pengembangan seharusnya ditujukan untuk penduduk yang tinggal di lingkungan itu, tapi sebagian besar proyek saat ini justru membuat mereka tersingkir karena di lingkungannya dibangun apartemen mahal untuk orang-orang kaya dari wilayah lain,” katanya. “Proyek pengembangan yang bagus seharusnya membenahi wilayah yang masih kurang dan meningkatkan kehidupan penduduk lokal.”
Ia juga menekankan perlunya ditinjau lagi gang-gang yang memiliki tangga untuk memudahkan lansia bepergian kesana-kemari dengan leluasa.
Sebagai orang tua, Brennan mengatakan ia merasa tidak nyaman ketika generasi muda tidak menawarkan tempat duduknya kepada orang-orang tua di kereta bawah tanah dan bus. “Ketika saya datang pertama kali ke Korea pada tahun 1960-an, negara ini sangat miskin tapi warganya sangat peduli satu sama lain dan anak-anak muda sangat menghormati orang tua,” katanya.
“Sekarang Korea kaya dan kuat, tapi masyarakat Korea menjadi dingin. Semoga Korea menjadi masyarakat yang lebih manusiawi; anak-anak muda bersikap lebih baik kepada generasi tua, mereka yang berkecukupan lebih memperhatikan yang kurang mampu, dan kaum terpelajar lebih mengerti keadaan mereka yang kurang terpelajar.”
“Orang-orang Korea tangguh,” katanya. “Mereka berjuang hingga akhir untuk mencapai tujuan, seperti terlihat dalam usahanya membebaskan diri dari pendudukan Jepang. Pada saat yang bersamaan, mereka siap berbagi apa yang mereka punyai dengan orang lain, meski sikap murah hati ini sudah sangat berkurang sejak banyak orang tinggal di apartemen.”
Rumah Permanen
Pastor Brennan mengatakan ia tidak pernah menyesali keputusannya memberikan pelayanan di Korea. Dari waktu ke waktu, ia pergi ke Selandia Baru dan disambut hangat oleh saudara-saudaranya dan anak-anak mereka. Namun, sejak ibunya meninggal beberapa tahun lalu, ia makin jarang ke sana.
Beberapa tahun yang lalu, setelah tiga kali mengajukan permohonan, Brennan mendapatkan izin tinggal permanen. “Itu tidak mudah karena semua yang saya lakukan di Korea adalah bekerja untuk gereja dan tinggal dengan orang Korea,” katanya dengan bercanda. “Saya tidak ingin meninggalkan negara ini. Saya bahkan sudah mempersiapkan tempat di sini ketika saya meninggal kelak,” katanya.
Salah satu tangan kanannya di Jaringan Warga Samyang mengatakan bahwa Brennan sudah mendapatkan tempat peristirahatan di Biara Baeron, sebuah biara Katolik dan pemakaman milik Wonju Diocese, yang terletak di Jecheon, Provinsi Chungcheong Utara.
Dulu, ketika masih muda, Pastor Brennan minum dan merokok. Sekarang, ia tidak lagi merokok, tapi sesekali masih minum hingga setengah botol soju (minuman beralkohol Korea) atau satu atau dua botol bir, dengan hidangan pendamping favoritnya, ayam goreng. Ia tidak punya masalah kesehatan secara khusus, kecuali lututnya yang melemah dan batuk karena polusi udara dan debu halus. Ia juga tidak melakukan banyak aktivitas fisik selain pulang pergi ke gereja dengan berjalan kaki.
“Saya membuat aturan harus berjalan dari rumah ke gereja atau kantor, mencuci pakaian dan sesekali memasak sendiri,” katanya. “Kadang-kadang saya merasa lelah dan ingin berhenti, tapi mereka tidak mengizinkan.”
Tidak hanya tetangganya di Samyang-dong tapi juga semua orang Korea yang mengenalnya ingin melihatnya sehat dan aktif selama mungkin.