Orang Amerika ini memahami tradisi Korea lebih baik daripada orang Korea sendiri dalam dua hal — sastra dan minuman keras. Seseorang bisa menjadi pakar budaya negara lain tanpa harus mencintai budaya itu. Namun, tidak demikian bagi John Frankl. Jika ia tidak mencintai budaya negara ini, ia tidak akan mengeluhkan mengenai Amerikanisasi Korea di tengah usahanya yang bersungguh-sungguh untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi.
Profesor John Frankl memeriksa tempayan yang berisi minuman keras buatan sendiri. Dia menikmati proses pembuatan bir tradisional Korea yang tidak praktis dan hasilnya memiliki rasa unik.
Sejak zaman purba, orang Korea percaya bahwa baik sastra maupun kemampuan bela diri diperlukan untuk menjadi manusia seutuhnya. Sebagian orang tampaknya tidak setuju dengan dengan dua hal ini dan menambahkan satu hal lagi, yaitu selera. John Frankl memenuhi ketiganya.
Frankl adalah seorang profesor dengan pengalaman mengajar selama satu dekade dalam bidang sastra Korea di Underwood International College di Universitas Yonsei. Tidak hanya itu. Carilah di mesin perambah Internet dan Anda akan melihat namanya terafiliasi dengan lusinan akademi jiu-jitsu Brasil (JJB) di Korea. Ia sangat dikenal di kalangan komunitas bela diri ini.
Selanjutnya, tentang selera, yang terkait dengan alkohol. Orang Korea terkenal — khususnya secara negatif— sebagai konsumen minuman beralkohol. Namun, Frankl punya beberapa teman yang memiliki kecintaan dan pengetahuan mengenai anggur tradisional mereka. Ia bahkan menerima tawaran untuk membuat dan menjual minuman beralkohol dengan namanya sendiri sebagai merek dagang.
Bagaimana ia bisa melebur tiga bidang yang sama sekali berbeda tanpa menjadi kutu buku, petarung atau peminum? Kuncinya adalah keseimbangan.
Frankl sangat memahami ungkapan, “Pelajari semua, tapi jangan kuasai satupun,” dan ini menggambarkan dirinya. “Saya tidak suka mendapatkan medali emas untuk satu hal saja, tapi lebih memilih mendapatkan medali perunggu untuk ketiganya,” katanya. Lebih bagus lagi, perpaduan ketiganya. Frankl ingin melakukan yang terbaik sebagai seorang dosen, suami dan ayah, juga sebagai orang yang menguasai bidangnya, atlet dan pembuat minuman. “Untuk menjadi yang terbaik dalam satu bidang, Anda harus mengorbankan banyak hal lain,” katanya.
Bermain dengan Tiga Bola
Mari kita ambil jiu-jitsu Brasil sebagai contoh. Pada tahun 1999, Frankl memperkenalkan olah raga ini — yang merupakan turunan dari judo Jepang — ke Korea. Saat ini, sebagian muridnya yang berguru kepadanya sejak ia membuka akademi JJB sudah menjadi pemegang ikat pinggang hitam dan membuka akademinya sendiri. Akademi itu memakai nama Frankl untuk menunjukkan hubungan di antara mereka. Frankl berempati karena tidak bisa terlibat dalam operasionalnya atau menerima uang dari mereka. Ia juga tidak tertarik membuat jejaring dalam akademi JJB. Ia hanya berlatih di dua sanggar kebugaran JJB di dekat tempat bekerjanya dan tidak ingin bertanding untuk memperebutkan gelar apapun.
Frankl percaya JJB adalah bela diri terbaik untuk kesehatan, lebih baik daripada karate, Muay Thai dan taekwondo; yang semuanya pernah ia tekuni. “Semua bela diri itu menggunakan pukulan dan tendangan yang bisa menyebabkan luka bukan hanya untuk penyerang tapi juga bagi yang diserang,” katanya. “Sebaliknya, dalam JJB Anda bisa mengungkapkan keinginan menyerah dengan menepuk bagian tubuh lawan Anda, dan keduanya tidak akan ada yang terluka.” Jika jiu-jitsu tidak aman, tentu ia tidak akan membiarkan anak perempuannya yang duduk di kelas dua sekolah menengah atas untuk mempelajarinya.
Meniti karir sebagai akademisi sekaligus atlet bisa menurunkan prestasi salah satu atau keduanya. Namun, Frankl tidak demikian. “Buat saya, semua itu hanya soal keseimbangan — antara mental dan fisik. Saya melihat keduanya saling menguatkan, bukan sebaliknya.” Keseimbangan ini tidak menyisakan waktu baginya untuk menjadikan JJB sebagai bisnis. Ia tidak tertarik.
Anggur Korea dan Minuman Lain
Mottto hidup Frankl mengenai keseimbangan jelas berlaku juga ketika ia mengolah minuman beralkohol. Pada tahun 2010, ia mulai menyuling minuman di rumahnya. Karena ingin membuat sul (minuman beralkohol) yang lebih enak, Frankl mengikuti kursus dari tingkat dasar sampai tingkat lanjut di Insitut Riset Pembuatan Minuman Korea.
“Sekali Anda mulai membuatnya sendiri, Anda tidak akan mau mengkonsumsi minuman yang dijual di pasar,” katanya. “Saya tidak mengerti mengapa orang Korea, yang punya tradisi mengagumkan dalam anggur dan minuman terbaik, tetap bertahan dengan minuman yang murah seperti soju, yang rasanya sangat membosankan dan monoton.”
Bagi Frankl, bahan mentah menentukan lebih dari 90 persen rasa soju, sisanya adalah soal waktu. “Dengan nuruk (malt, atau ragi) yang difermentasi dengan baik dan beras berkualitas tinggi, rasa minuman akan sangat terjamin,” katanya. “Masukkan beras, malt dan air ke dalam sebuah toples dan biarkan berfermentasi di suhu ruangan selama sekitar 10 hari, dan Anda akan mendapatkan minuman yang tidak ada di belahan dunia manapun. Tambahkan perasa seperti serbuk pinus atau mugwort — ini adalah lapisan yang dipakai dalam kue.”
Profesor Frankl, yang memperkenalkan jiu-jitsu Brasil ke Korea pada tahun 1999, memeragakan di sebuah studio yang dinamai menurut namanya. Dia menunjukkan bahwa menjadi seorang sarjana dan atlet sebagai tindakan penyeimbang pikiran dan tubuh.
Anggur yang difermentasi dengan baik difilter untuk menghasilkan anggur beras jernih yang disebut cheongju, sementara yang tidak difilter, keruh seperti susu disebut takju, atau juga dikenal dengan nama makgeolli. Cheongju yang dipanaskan akan menjadi soju. Kadar alkoholnya dikontrol melalui temperatur pemanasan hingga 80 proof (40 dalam derajat Korea) atau lebih tinggi. “Lakukan penyulingan dengan cheongju yang bermutu tinggi, dan Anda akan mendapatkan seperempatnya sebagai soju,” kata Frankl. “Soju yang disuling secara tradisional adalah minuman berkualitas tinggi yang pembuatannya mekaman banyak waktu dan uang.”
Pewawancara kali ini menyicipi dua jenis soju 80 proof yang disuling oleh Frankl. Seperti minuman keras lain, termasuk anggur kaoliang China, soju itu berasa lebih pahit, tapi menyisakan rasa yang jernih, seperti anggur beras yang manis. Rasa tidak enak yang sering kali tersisa di tenggorokan ketika kita menikmati minuman yang kuat juga tidak ada.
“Bahkan ketika minum wiski yang mahal sekalipun, Anda harus menahan rasa di tenggorokan Anda,” kata Frankl. “Soju tradisional Korea, walaupun kadar alkoholnya tinggi, meluncur ke perut Anda dengan lembut. Soju ini dibuat dari bahan yang bagus dan tidak membuat Anda merasa mabuk keesokan harinya, walaupun Anda meminumnya dalam jumlah banyak.”
Frankl mengatakan ia bisa minum pada malam hari tanpa merasa mabuk keesokan harinya jika tiga syaratnya terpenuhi — anggur yang bagus, orang-orang yang membuatnya nyaman dan atmosfer yang menyenangkan. Profesor berusia 51 tahun ini mengatakan ia tidak memberikan toleransi terhadap kekerasan yang dilakukan oleh para mereka yang mabuk. “Orang Korea tampaknya sangat toleran terhadap mereka yang mabuk dan kesalahan yang mereka lakukan, dan mengatakan ‘itu semua karena sul,’” katanya. “Saya tidak setuju karena kita tidak bisa menyalahkan minuman beralkohol yang kita minum. Yang salah adalah mereka yang meminumnya.”
Mengenai budaya minum orang Korea, Frankl melihat adanya perubahan yang signifikan. “Sekarang, orang Korea minum lebih sedikit dibanding dulu, waktu minumnya juga lebih singkat dan atmosfernya lebih tenang. Sebagai seorang peminum dan pembuat minuman beralkohol, saya merasa kecewa,” katanya sambil terkekeh.
Frankl ingat dulu sebagian orang Korea menganggapnya aneh: orang asing menyuling minuman Korea. Namun, sekarang mereka memintanya berbagi produk dan cara membuatnya. Beberapa temannya yang bukan orang Korea, termasuk dari Skotlandia yang merupakan negara penghasil wiski, sangat tertarik kepada soju Korea dan cara pembuatannya.
“Keunggulan anggur Korea adalah bahwa Anda bisa membuatnya dari bahan yang mudah didapat dalam waktu yang relatif pendek,” kata Frankl. Sambil menekankan bahwa minuman beralkohol Korea lebih enak daripada kaoliang atau sake, ia mengatakan, “Apa yang dibutuhkan orang Korea adalah kebanggaan kepada produknya sendiri, merawat tradisi dan membungkusnya dengan cerita.”
Frankl mengatakan banyak orang Korea bersedia menghabiskan ratusan ribu won untuk sebotol wiski Skotlandia atau satu juta won untuk anggur Perancis tapi hanya mau mengeluarkan uang beberapa ribu won untuk soju atau makgeolli. Ia menekankan bahwa anggur dan minuman Korea tidak harus murah dan orang Korea harus belajar dari orang-orang China, yang membuat dan menjual minuman kaoliang mereka dengan harga yang sangat mahal.
“Beberapa lulusan institut pembuatan minuman ini menjalankan usaha minuman dan penyulingan berskala kecil, yang membuat diversifikasi produk dari soju dan makgeolli Korea. Proses diferensiasi sudah dimulai meski popularisasinya masih perlu waktu,” kata Frankl. “Zaman anggur dan minuman yang murah, ringan dan hambar, seperti soju dan makgeolli yang Anda temui di pasar swalayan dan toko serba ada, harus digantikan dengan soju, cheongju dan dongdongju (disebut juga takju, tapi dengan sedikit butiran beras yang mengambang) yang berkelas.”
Kadang-kadang Frankl menerima tawaran untuk meluncurkan minuman dengan namanya sebagai merek dagang. “Saya bimbang dengan tawaran itu,” katanya. “Jika saya menjadikan minuman sebagai bisnis, saya tidak akan menikmatinya lagi sebagai hobi. Sebaliknya, saya juga memiliki mimpi melihat produk saya dijual di toko-toko besar.”
Meniti karir sebagai akademisi sekaligus atlet bisa menurunkan prestasi salah satu atau keduanya. Namun, Frankl tidak demikian.
Profesor Frankl mengajar sastra Korea di Underwood College di Universitas Yonsei. Dia dibesarkan di Santa Cruz, California dan mengunjungi Korea untuk pertama kalinya pada tahun 1989 sebagai siswa pertukaran di sekolah yang sama.
Diversifikasi Lebih Utama
John Mark Frankl lahir di Los Angeles tapi dibesarkan di Santa Cruz, California. “Tidak ada warga atau siswa Korea di sekitar kota saya ketika saya duduk di sekolah memengah. Juga tidak ada misionaris Kristen yang pernah bertugas di Korea,” katanya. “Saya memilih bahasa Korea sebagai bahasa asing kedua ketika saya kuliah dan mempelajarinya dengan tekun, seolah-olah itu mata kuliah yang sangat menentukan kelulusan saya.”
Ia pertama kali datang ke Korea pada tahun 1989 sebagai mahasiswa pertukaran di Universitas Yonsei dan melanjutkan belajar bahasa Korea. Kemudian ia mengembangkan minatnya dalam sastra Korea modern dan kontemporer. Frankl menyukai novelis yang aktif di tahun 1920-an dan 1930-an, seperti Chae Man-shik, Yeom Sang-seop dan Hyeon Jin-geon. Mereka membawa bendera sastra realis dan naturalis, tapi penulis-penulis ini dipilihnya karena karyanya, bukan karena genre sastranya. Penulis favoritnya adalah Yi Sang. Ia menyukai esai Yi, tapi kurang menikmati membaca puisi dan novelnya, karena menurutnya “terlalu sulit” dipahami.
Setelah tinggal di Korea selama hampir 15 tahun, Frankl mengakui bahwa ia mencintai negara ini. “Namun, seperti yang Anda ketahui, tidak ada kecintaan yang 100 persen murni,” katanya. “Jika Anda mencintai Korea dengan 95 persen perasaan positif, 5 persen sisanya adalah aspek negatif yang bisa muncul kapan saja.”
Mengenai alasan 95 persen perasaan positifnya, Frankl menjelaskan bahwa ia melihat orang Korea percaya diri dan berpikiran terbuka dan Korea adalah negara yang ramah dan nyaman ditinggali bagi orang asing. Pada mulanya, ia merasa orang Korea sangat tertutup dan tidak ramah kepada orang asing, tapi kecenderungan ini menghilang. Sedangkan, mengenai aspek negatif sebesar 5 persen yang dirasakannya, Frankl mengatakan bahwa itu terkait dengan sifat individualistis mereka.
Ketika ditanya pendapatnya mengenai karakter orang Korea, Frankl mengatakan ia tidak percaya dengan istilah “nilai-nilai nasional,”. Guru-guru di Korea seharusnya tidak menanamkan istilah mistis seperti “satu negara” atau “garis darah murni” kepada anak didiknya. Sebaliknya, orang Korea harus melihat perbedaan di antara mereka sendiri dan menghargai perbedaan mereka dengan orang asing — di sini dan di luar negeri.
“Apa yang paling saya sukai mengenai Korea adalah keragaman dialek, pemandangan alam dan makanan di seluruh negeri yang bisa Anda temui di manapun hanya dengan mengendarai mobil selama sekitar tiga jam,” tambahnya.