Dengan meluasnya penggunaan kamera digital dan smartphone, fotografi telah dinilai ulang dalam konteks yang sangat berbeda. Sebagai sarana untuk mengabadikan momen keseharian, bukan hanya acara-acara khusus, fotografi kini menjadi sarana komunikasi yang tersedia bagi siapa saja. Sekarang ini, mengambil “foto bukti (injeung shot)” dan membaginya melalui situs jejaring sosial (SNS) telah menjadi bagian integral dari rutinitas kehidupan manusia sehari-hari.
“Flâneur di Museum, Louvre”
Kim Hong-shik, 2016. Karya timbul; uretan, tinta dan layar sutra pada baja tak berkarat; 120 × 150 cm (termasuk bingkai).
Dewasa ini semua orang mengambil foto di mana-mana. Mengapa orang-orang itu begitu bersemangat mengambil foto? Kalau dipikirkan baik-baik, mengambil foto berarti seseorang tidak ingin melupakan momen saat objek foto tersebut dibidik dan ingin mengabadikannya. Dengan kata lain, foto bersangkutan dengan perihal “kepemilikan”. Sama halnya dengan kenangan dan ingatan, bukankah keduanya juga merupakan salah satu bentuk kepemilikan dalam arti luas?
“Buat apa memotret orang yang sudah tua keriput?” Nenek-nenek sering berkata demikian ketika hendak difoto. Kata-kata tersebut mencerminkan pikiran bahwa foto bertujuan mencetak hal-hal yang indah. Mengapa orang-orang berpendapat hal-hal yang indah harus difoto? Kalau bukan karena materi dokumentasi atau sebuah karya dengan konsep yang khusus, kita memang tidak perlu menyorotkan kamera ke objek yang mengerikan atau pemandangan yang tidak layak dilihat. Tidak akan ada orang yang ingin menyimpan hal-hal buruk seperti itu.
Di Istana Changgyeong Seoul, para wanita muda berselfie dalam akaian tradisional Korea. Mereka lebih tertarik untuk mendapatkan “bukti potret” khusus daripada menghargai situs bersejarah tersebut.
Demi Selembar Foto “Seumur Hidup”
Setelah munculnya kamera digital, segudang fotografer amatir telah menghasilkan lanskap serupa lukisan batu. Mengapa demikian? Pernah suatu ketika saya mengunjungi sebuah kuil tua yang berdiri di ujung tebing dan merasa kecewa akan pemandangan kuil yang tidak terlihat karena tertutup kabut. Ah, tepat di sini dengan sudut ini seharusnya saya mengambil foto kuil itu! Foto yang saya lihat di buku panduan wisata terbayang-bayang di dalam benak saya. Meskipun saya menunggu cukup lama, kabut tidak memudar dan ketika itu pemandu wisata saya berkata sambil tersenyum, “Saya punya ide bagus. Coba cari tempat ini di google setelah sampai di rumah!”
Banyak wisatawan yang kembali dari perjalanan mereka dengan gambar yang hampir identik dari tempat yang mereka kunjungi karena itu bagaikan bukti yang dimiliki untuk menunjukkan apa yang mereka alami atau rasakan di sana. Karena materi bukti harus mudah dimengerti oleh semua orang, maka materi tersebut harus berbentuk serupa dengan yang lainnya daripada terlihat berbeda dan unik. Mungkin karena alasan ini jugalah para wisatawan rela mengantre panjang-panjang di lokasi wisata dan mengambil foto yang sama. Karena dengan memotret pemandangan indah yang mereka lihat langsung dan dengan kamera sendiri, mereka merasa memiliki pemandangan tersebut dan ingin diakui orang lain bahwa mereka telah memiliki pemandangan tersebut.
Di sebuah restoran, pelanggan muda memotret diri mereka dengan bir dan makanan yang baru saja disajikan sebelum minum. Kaum muda telah menciptakan budaya baru untuk memotret kegiatan mereka sehari-hari dan mengunggahnya melalui media sosial.
Orang-orang menyebut foto ini “foto bukti”. Bisa jadi 30 tahun kemudian para sejarawan foto mengklasifikasikan foto bukti sebagai sebuah genre seperti foto dokumenter atau potret. Setelah melewati Homo faber yang berarti manusia pembuat perkakas, Homo habilis manusia pengguna tangan, dan Homo ludens manusia bermain, kini di tahun 2010-an telah lahir manusia baru yang dapat kita sebut sebagai Homo photocus.
Homo photocus tidak membedakan laki-perempuan maupun tua-muda. Bahkan orang-orang tua yang kikuk di depan mesin berteknologi canggih pun terlihat biasa dan alami di depan kamera. Walaupun ada orang yang tidak memahami penggunaan kamera DSLR, tetapi semua orang tahu cara pemakaian kamera smartphone. Dengan smartphone yang tergenggam dalam satu genggaman tangan, kita dapat mengambil hampir segala jenis foto. Kita juga tidak perlu meminta tolong kepada orang asing untuk memotret kita karena dengan tongkat selfi (selfie stick) kita dapat memotret foto sendiri dengan sudut yang diinginkan. Manusia baru abad ke-21, disibukkan dengan pengambilan foto bukti, dengan mengangkat smartphone mereka di seluruh dunia.
“Foto bukti” merupakan Istilah baru yang tercipta di lingkungan yang menggabungkan kamera digital, smartphone dan media sosial. Foto bukti merupakan frase yang tepat yang menggambarkan manusia baru ini.
Beberapa tahun terakhir ini terlihat pemandangan baru yang tidak pernah terlihat sebelumnya di beberapa tempat seperti istana Gyeongbok yang terletak di tengah kota Seoul, desa Hanok (rumah tradisional Korea) Bukchon, dan di desa Hanok Jeonju yang bernuansa kuno. Di lokasi-lokasi wisata terkenal ini pemuda-pemudi berumur belasan hingga dua puluhan tahun mengenakan hanbok (pakaian tradisional Korea) sewaan dan mengambil foto bukti. Hanbok yang hanya dikenakan pada hari-hari khusus seperti upacara pernikahan dan nyaris terlupakan keberadaannya di kehidupan sehari-hari ini muncul kembali ke jalanan. Satu hal yang menarik, tren ini muncul bukan karena terkait dengan restorasi tradisi atau sejarah, melainkan “murni karena foto”.
Pemuda-pemudi itu memakai hanbok demi menghasilkan selembar foto yang memuat diri mereka dalam busana indah tradisional yang jauh berbeda dengan pakaian modern. Foto bukti tersebut kemudian akan langsung diunggah ke SNS. Mereka tidak segan-segan memperlihatkan foto mereka kepada teman nyata di dunia realitas dan dunia maya secara online. Bahkan generasi muda sekarang menamai foto buktinya yang terbaik sebagai “foto seumur hidup (insaeng shot)”. Demi mendapatkan selembar foto seumur hidup, mereka meminjam dan memakai baju tradisional yang mewah, dan rela sibuk bepergian ke jalanan bersuasana bagus, istana-istana kuno, kafe, dan lokasi-lokasi wisata terkenal.
Manusia baru abad ke-21, disibukkan dengan pengambilan foto bukti, dengan mengangkat smartphone mereka di seluruh dunia. “Foto bukti” merupakan Istilah baru yang tercipta di lingkungan yang menggabungkan kamera digital, smartphone dan media sosial. Foto bukti merupakan frase yang tepat yang menggambarkan manusia baru ini.
Foto di Pusat Komunikasi
Foto membuat orang-orang berkumpul. Postingan internet yang hanya terdiri dari teks tanpa foto sulit mendapat perhatian. Karena itulah orang yang memiliki media sosial individu seperti blog berusaha sepenuh hati demi mengunggah foto yang dapat menarik perhatian pengunjung situsnya. Terutama untuk pengelola situs yang peranan fotonya sangat penting seperti blog makanan atau fesyen tidak dapat diragukan lagi. Mereka dilengkapi dengan kamera digital canggih dan memperlihatkan kemampuan memotret yang tidak kalah dari fotografer profesional.
Kamera digital dan smartphone mengubah banyak hal. Dahulu orang memotret foto, mencetaknya, membingkainya, dan memajangnya di tembok atau di atas meja. Dan kadang-kadang mereka menikmati kenangan masa lalu sambil melihat foto tersebut. Kini semua itu tidak selesai hanya dengan memotret foto, tetapi juga memilih, menghapus foto yang akan dibuang, kemudian diedit dengan photoshop atau dengan aplikasi foto yang sederhana. Kemudian foto tersebut diunggah di SNS. Kegiatan-kegiatan ini berlangsung secara beruntun. Bisa dikatakan foto tersebut baru menjadi utuh bukan pada saat foto itu diambil, melainkan setelah diunggah di SNS.
Di bawah foto yang diunggah di SNS, terdapat banyak komentar. Berbagai macam cerita dan penilaian berlangsung dalam komentar tersebut. Jika foto diandaikan sebagai sebuah pribadi, foto di zaman analog akan beranggapan bahwa nasib terbaiknya adalah saat dirinya dicetak, dibingkai, dan dipajang di dinding ruang tamu suatu rumah. Sebaliknya di zaman digital, foto jarang dicetak. Sebagai gantinya foto tersebut terbuka dan tersebar luas di dunia maya. Nasib foto digital tergantung pada seberapa baik ia diedit dan seberapa banyak tanda jempol “luka” yang ia dapat.
Berdasarkan pengamatan saya, tulisan yang paling banyak mendapat reaksi bukanlah tulisan mengenai isu politik, isu sosial, ataupun pengalaman dan masalah pribadi. Foto selfie dan foto buktilah yang paling banyak mendapat respons. Foto-foto sejenis ini menggerakkan lebih banyak orang dan bahkan membuat orang yang biasanya pendiam mengungkapkan pendapat mereka. Daripada tulisan, foto membuat orang-orang lebih mudah tertawa dan tersentuh, menarik manusia satu dengan lainnya dengan kekuatan magnet dan membuat mereka saling menanyakan kabar, bersapa, dan berbagi cerita. Jadi, foto adalah sebuah motivasi bagi seseorang untuk menjalin hubungan dan berkomunikasi secara mendalam dengan yang lainnya. Foto zaman digital yang terbang di atas sayap bernama SNS menjadi bentuk komunikasi yang paling berguna.
Pantai Sehwa di Pulau Jeju selalu ramai dengan pasangan dan orang berbulan madu mengambil foto-foto di depan pemandangan laut yang indah. Keinginan orang untuk menangkap momen spesial dalam kehidupan mereka di foto dan mengunggahnya di media sosial telah mengubah setiap sudut tersembunyi pulau itu menjadi tujuan wisata yang terkenal.
Foto Bukti: Bukan Fakta Tetapi Hasrat
Jumlah foto yang diambil dari tahun 2010-an mungkin telah melampaui jumlah foto yang diambil selama 180 tahun terakhir ini sejak ditemukannya kamera. Memang perkembangan teknologilah yang membuat semua ini memungkinkan, tetapi di sisi lain foto juga merefleksikan hasrat kita yang hidup di era digital. Profesor Ilmu Konsumen Universitas Nasional Seoul, Kim Ran-do, menyebut “kecanduan bukti” dan “pamer keseharian” sebagai salah satu tren perilaku tahun 2015 dalam bukunya yang berjudul Trend Korea. Hal ini menunjukkan bahwa kini kita hidup di masa penuh kecurigaan, di mana kita tidak mudah dipercayai tanpa memperlihatkan bukti dan hanya dengan bukti yang dapat dipastikan dengan bola matalah kita bisa mendapatkan sorotan perhatian. Profesor Kim menganalisis bahwa dalam dunia di mana “retweets” dan “likes” di SNS menjadi dasar keberadaan seseorang, memamerkan sesuatu telah menjadi keseharian mereka dan keseharian mereka pun menjadi sebuah pameran.
Di masa “membuktikan diri” seperti ini, foto bukti memegang peranan penting. Tapi apakah tidak aneh? Bukankah bukti seharusnya merupakan sesuatu yang tidak bertentangan dengan kenyataan? Sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan tidak dapat dijadikan sebagai bukti. Tetapi foto bukti merupakan realitas dan juga bukan realitas secara bersamaan. Sebagai contohnya, selfi tidak memperlihatkan sosok mereka apa adanya, melainkan sosok ideal yang jauh dari kenyataan yang telah diperbaiki dan dipercantik. Begitu banyak aplikasi smartphone yang dapat mengedit wajah menjadi lebih cantik, menghilangkan kerutan wajah, memperhalus kulit muka, dan memperbesar mata. Betapa ironisnya hal ini karena foto yang hanya mengambil sepotong kenyataan dan diedit agar lebih enak dipandang menjadi foto bukti identitasnya.
Sejak dulu orang menggunakan foto untuk membuktikan identitas dirinya. Tetapi kini sulit untuk mengenali orang hanya dengan melihat foto di Surat Izin Mengemudi atau surat lamaran kerja. Sekarang sudah jarang ada orang yang memakai foto yang tidak diedit. Foto selfi atau foto bukti yang telah dipercantik pada akhirnya bukanlah bukti identitas, melainkan bukti hasrat mereka. Pada akhirnya, memotret foto bukti dengan menaikkan smartphone tinggi-tinggi adalah usaha untuk menunjukkan hasrat mereka kepada orang lain. Di zaman kontradiksi di mana orang-orang tidak ingin percaya maupun berkomunikasi dengan orang lain, tetapi sekaligus ingin mendapat pengakuan dari banyak orang, foto zaman digital seperti ini merupakan dua buah sisi keberadaan kita.