메인메뉴 바로가기본문으로 바로가기

An Ordinary Day > 상세화면

2018 SPRING

Membangunkan Lingkungan Sekitar selama Dua Dekade

Masih satu atau dua jam menuju pagi, tapi toko teok itu sudah sibuk dengan lampu yang terang benderang. Artinya siapa pun yang ingin menjalankan toko seperti ini harus bekerja sangat keras. Saya bertemu sepasang suami istri yang menjalankan toko kecil yang menjual kue beras di lingkungan biasa di Seoul selama lebih dari 20 tahun terakhir itu, dan melihat lebih dekat kegiatan rutin mereka sehari-hari, yang diawali ketika kota ini mulai tidur.

pensiDi Toko Ddeok Pungnyeon, di lingkungan Namgajwa-dong yang sederhana di Seoul, Kim Jae-eun membungkus sebagian kecil kue beras yang berbeda ke baki styrofoam terlihat dari jendela tokonya. Warga sekitar, dari anak-anak sekolah hingga orang tua, membeli kue di atas nampan, dan banyak di antaranya akhirnya menempatkan banyak pesanan untuk berbagai kesempatan.

Kehidupan Kim Jae-eun dapat dibagi menjadi sebelum dan sesudah ia mulai membuat teok, kue kenyal terbuat dari beras dan disebut rice cake dalam bahasa Inggris.

Sebelumnya, ia bekerja tak kenal lelah namun tidak bahagia. Sekarang, ia bekerja keras tapi bahagia. Teok tidak hanya membuat Jae-eun hidup dalam keadaan ekonomi yang cukup, namun ia juga bersyukur dengan hidupnya sebagai pembuat kue beras ini karena berkat kue beras ini ia makin mencintai suaminya.

Toko teok Pungnyeon (“Tahun yang Melimpah”), milik Jae-eun dan suaminya, Oh Se-yeong, bisa ditempuh dalam lima menit dengan berjalan kaki dari gerbang belakang Myongji University di Namgajwa-dong, salah satu lingkungan lama di Seoul. Di tokonya seluas 10-pyeong ini (1 pyeong sama dengan 3,3 meter persegi), Jae-eun dan Se-yeong sibuk sepanjang hari, membuat berbagai kue beras beraneka bentuk dan warna.

“Pukul berapa kami mulai bekerja? Pukul 2, 3, 4 pagi. Tergantung,” kata Jae-eun, menggambarkan bisnisnya. “Waktu kami mulai bekerja berubah-ubah sesuai dengan pesanan. Tapi pukul berapa pun kami mulai bekerja, kami selesai pukul tujuh malam. Toko teok di lokasi yang padat pejalan kaki seperti di dekat stasiun kereta bawah tanah atau di pusat kota kadang-kadang buka sampai pukul 10 malam, tapi di wilayah pemukiman, pembeli sudah tidak ada lagi yang datang begitu hari mulai gelap.”

Kue beras mereka tidak memakai bahan pengawet, jadi harus dikirim secepatnya setelah dibuat. Artinya ketika ada pengiriman yang harus dilakukan pagi sekali, Jae-eun dan Se-yeong mulai bekerja jauh sebelum fajar.

Jae-eun punya catatan dengan rincian pesanan, termasuk tanggal dan waktu pengiriman. Pembuatan beberapa tipe kue beras harus dimulai sehari sebelum pengiriman, jadi pesanan untuk hari berikutnya harus dicek dan semua persiapan harus sudah lengkap sebelum mereka pulang. Beras harus dicuci dan direndam semalaman, dan pasta kacang merah dan isian kacang putih juga sudah harus dibuat.

Kuil dan Gereja: Pelanggan Utama

Kantung berisi kue beras, disebut baramteok, ditutup secara longgar berbentuk setengah bulan dengan pasta kacang putih atau kacang merah, sangat populer di kalangan konsumen muda karena rasanya yang manis.

Ketika Jae-eun dan Se-young sampai di toko mereka, yang pertama dilakukan adalah menyalakan panci pengukus. Kemudian, mereka membuang air dari beras yang sudah dicuci dan direndam malam sebelumnya dan memasukkannya ke dalam satu dari tiga mesin penggiling. Setelah itu beras ditumbuk menjadi tepung yang halus, lalu diletakkan di baki anti karat dan dikukus dalam pengukus besar.

Waktu yang diperlukan bervariasi tergantung jenis teok yang dibuat tapi sebagian besar membutuhkan sekitar 10 sampai 15 menit sampai kue itu siap disantap. Jenis kue beras yang dibuat oleh Jae-eun dan Se-yeong banyak sekali. Mulai garaeteok yang berbentuk silinder polos; siruteok kukus isi kacang merah; injeolmi yang dibuat dari beras ketan dilapisi bubuk kacang panggang; yaksik dengan madu dan kacang; songpyeon hijau yang pewarnanya berasal dari daun ramie dan diisi kacang hijau kupas; dan baramteok yaitu roti isi. Di antara semua itu, toko teok Pungnyeon paling dikenal dengan siruteok yang terbuat dari beras ketan. Enambelas kilo kacang merah direbus setiap hari untuk membuat kue itu.

Se-yeong mengirim kue dengan moped-nya. Sebagian kue ditempatkan dalam baki styrofoam, yang dibungkus dengan plastik bening lalu diletakkan di etalase di jendela depan untuk menarik pembeli.

“Rahasia membuat teok paling enak adalah bahan-bahannya. Ini berlaku untuk semua makanan,” kata Jae-eun. “Kakak perempuan saya mengirim beras dan kacang yang ditanamnya sendiri di Iksan, Propinsi Jeolla Utara. Pelanggan kami punya cita rasa yang bagus. Jika kami memakai bahan yang kurang berkualitas, mereka akan tahu.”Pelanggan utama toko teok Pungnyeon adalah kuil dan gereja di sekitarnya. Sekitar 10 menit perjalanan dengan moped dari toko Se-yeong, terdapat Baengnyeonsa (Kuil Teratai Putih), yang dibangun pada abad ke-8 di bawah pemerintahan Raja Gyeongdeok dari Kerajaan Silla. Karena sejarahnya yang panjang, banyak upacara diselenggarakan di kuil ini. Kuil ini biasanya memesan injeolmi dari beras ketan dilapisi bubuk kacang, dan siruteok kukus dengan kacang hijau tumbuk atau kacang merah yang digunakan dalam ritual menghormati leluhur. Sementara itu, gereja-gereja di sekitarnya biasa memesan kue yang berbeda, tergantung rasa yang diinginkan jemaat. Jae-eun tidak menganut agama tertentu, tapi karena pelanggan utamanya adalah organisasi keagamaan, ia selalu hidup dengan penuh rasa syukur.

Kue beras yang diletakkan di baki styrofoam hanya dalam porsi kecil. Biasanya hanya untuk mencicipi saja. Jumlah orang yang memesan setelah mencoba kue itu makin bertambah, dan selama 20 tahun terakhir pelanggan tokonya makin banyak. Dulu, proporsi antara pesanan dan penjualan di toko sekitar 6 berbanding 4, tapi sekarang 9 berbanding 1.

Barangkali karena lokasinya di jalan di wilayah pemukiman, orang yang datang ke tokonya dan membeli kue dalam jumlah kecil terdiri dari siswa sekolah sampai ibu rumah tangga dan mereka yang sudah pensiun, dan mereka datang di waktu yang berbeda setiap harinya. Pelanggan muda biasanya membeli kue isi madu, sementara yang lebih tua lebih menyukai siruteok kukus atau injeolmi yang lengket.

Di tiap awal tahun, kue yang pa­­ling laris adalah garaeteok yang dipotong tipis dan berbentuk oval. Kue ini dimasukkan ke dalam sup dan dimakan di tahun baru. Selama tahun-tahun pertama toko ini dibuka, banyak pelanggan membawa sendiri berasnya untuk diolah menjadi garaeteok yang berbentuk silinder panjang, tapi sekarang semua orang bisa membeli irisan siap pakai.

Dari Pengusaha Percetakan yang Gagal menjadi Penjual Teok yang Sukses

Menyampaikan pesanan kue beras secara massal adalah tanggung jawab Oh Se-yeong, suami Jae-eun. 3. Garaeteok putih merupakan makanan pokok yang 1 ditawarkan di semua toko kue beras.

Kue beras dimakan di semenanjung Korea sejak zaman agrikultur. Selain di Korea, jenis kue yang sedikit berbeda juga ada di Cina dan Jepang. Di Cina, kue ini dibuat dari gandum. Di Jepang dan Korea, bahan utamanya adalah beras ketan dan beras biasa. Kue beras Korea menjadi lebih beragam dalam jenis dan rasa selama masa Dinasti Joseon (1392–1910), ketika terjadi kemajuan besar-besaran dalam teknologi agrikultur dan cara pengolahan. Sebagian besar kue beras yang dimakan oleh orang Korea dibuat seperti cara di zaman Dinasti Joseon.

Kue beras Korea bisa dikategorikan berdasarkan cara memasaknya. Jeungbyeong, yang terdiri dari baekseolgi yaitu kue beras putih polos dan siruteok yang berlapis kacang, dikukus. Dobyeong seperti injeolmi dibuat dengan cara menumbuk nasi dalam sebuah lesung atau papan penumbuk dan menjadikannya bertekstur lengket dan lembut. Jeonbyeong, yang juga disebut hwajeon, dibuat dari adonan tepung dan digoreng di wajan. Danja, yang biasa disebut gyeongdan, adalah bola-bola dari beras ketan atau adonan millet seukuran kacang kastanye. Bola-bola ini direbus dalam air dan kemudian dilapisi dengan kacang merah tumbuk, wijen hitam atau lapisan de­­ngan beragam rasa.

Ada satu kalimat di dalam teks sejarah abad ke-21, Samguk sagi (“Sejarah Tiga Kerajaan”), yang mengatakan bahwa manusia di zaman itu sudah membuat dobyeong, atau kue beras tumbuk. Dalam teks sejarah abad ke-13, Samguk yusa (“Memorabilia dari Tiga Kerajaan”), ada referensi bahwa kue beras dipakai sebagai upeti makanan dalam ritual menghirmati leluhur. Sekarang, kue beras adalah bagian dari jamuan keluarga yang dihidangkan di meja dalam ritual menghormati leluhur dan dalam pesta ulang tahun, khususnya ulang tahun pertama. Selama periode liburan Tahun Baru Cina, orang Korea menyantap teokguk yang dibuat dengan irisan kue berwarna putih yang direbus dalam kaldu daging. Kemudian, selama festival panen musim gugur Chuseok, beras yang baru dipanen digiling dan diuleni menjadi adonan untuk songpyeon, kue berbentuk bulan separuh, yang diisi dengan wijen manis, kacang merah atau kastanye, dan dikukus dengan daun pinus.

“Secara umum, masyarakat memang makin jarang mengkonsumsi kue beras,” kata Jae-eun. “Dulu, mereka memasukkannya ke dalam daftar makanan yang harus disiapkan untuk acara, khususnya sebagai bingkisan untuk keluarga besan, tapi sekarang mereka hampir tidak pernah lagi menjadikannya sebagai bagian dari upacara. Orangtua hanya mempersiapkan kue baekseolgi polos putih atau gyeongdan dari sorgum berbentuk bola yang dilapisi dengan kacang merah sebagai staple dalam pesta ulang tahun pertama seorang anak atau menandai seratus hari usianya. Sekarang kue ini hanya dibuat oleh nenek untuk ulang tahun pertama cucunya.”

Pada akhir tahun 1960an, ketika Kim Jae-eun lahir, kue beras adalah makanan yang sangat populer, tapi ia tidak terlalu menyukainya. Ketika lulus dari sekolah menengah pertama di Jeonju, Propinsi Jeolla Utara, Jae-eun pergi ke Seoul dan melanjutkan ke sekolah menengah atas lebih lambat dibanding teman-temannya. Ketika bekerja paruh waktu di sebuah percetakan di tahun kedua sekolahnya, Jae-eun berkenalan dengan Se-yeong, yang bekerja di percetakan lain. Mereka menikah ketika Jae-eun berusia 25 tahun dan Se-yeong 30 tahun, tapi Jae-eun tidak bisa benar-benar mencintai atau menghormati suaminya ini karena ia masih belum terlepas dari alkohol setelah usaha percetakannya dua kali mengalami kegagalan.

Pada saat percetakan Se-yeong di Jongno sedang berjuang hidup, toko kue beras di sebelahnya ramai sekali. Dengan makin banyaknya komputer rumah, usaha percetakan makin menurun, sehingga Se-yeong bekerja juga di toko kue beras itu setiap akhir pekan. Setelah beberapa lama, ia menutup usaha percetakannya dan mulai belajar mendalam mengenai kue beras. Tak lama kemudian, toko kue beras itu pindah ke wilayah lain, tapi bagi Se-yeong, yang sudah berada di dunia kue beras, toko ini se­perti sekolahnya. Ia mengendarai motornya selama satu jam setiap pagi ke lokasi baru toko itu dan baru pulang larut malam. Sementara itu, Jae-eun bekerja sebagai pengurus rumah paruh waktu untuk membantu keluarganya. Dua tahun kemudian, pada bulan Agustus 1999, pasangan ini mencari pinjaman untuk membeli Penggilingan Pungnyeon di Namgajwa-dong dan membuka Toko Teok Pungnyeon, yang membuatnya menjadi siswa dan partner bisnis terbaik.

Jae-eun punya dua harapan. Pertama, pemilik rumah tidak menaikkan sewa, dan yang kedua adalah jika ia berhenti bekerja, toko teok Pungnyeon itu tetap bertahan

Melihat Suaminya sebagai Sosok Baru

Garaeteok putih merupakan makanan pokok yang 1 ditawarkan di semua toko kue beras.

“Dibandingkan dengan 20 tahun lalu, jumlah pemesan memang menurun, tapi pendapatan kami keseluruhan meningkat, jadi pasti jumlah pembeli kami meningkat,” kata Jae-eun.

Pasangan ini berhasil membayar kembali pinjamannya, menyekolahkan kedua anak perempuannya ke universitas, dan Jae-eun menjadi makin mencintai teok. Anak perempuannya yang pertama punya dua anak dan anak perempuan kedua, yang mendalami seni tari kontemporer, sekarang menjadi guru tari. Jae-eun menganggap teok sebagai “penyelamat hidupnya,” karena, di atas semua yang dicapainya, ia menjadi hormat kepada suaminya.

“Ia tidak berpikir soal uang. Yang dipikirkannya hanya teok. Karena selalu berpikir tentang bagaimana caranya membuat teok yang lebih enak, ia seperti seniman. Awalnya sulit buat saya mengaguminya, tapi sejak di sini, hari demi hari ia menjadi orang yang membuat saya makin hormat.

”Jae-eun punya dua harapan. Pertama, pemilik rumah tidak menaikkan sewa, dan yang kedua adalah jika ia berhenti bekerja, toko teok Pungnyeon itu tetap bertahan selama bertahun-tahun kemudian.

Jae-eun memang bahagia berkat teok, tapi ia mengatakan bahwa pekerjaannya sangat melelahkan. “Barangkali lima tahun mendatang saya akan menutup toko ini dan istirahat.” Namun, itu pun belum pasti. Ia ingin anak perempuan pertamanya dan menantunya menjalankan toko itu, tapi pekerjaan itu sangat berat dan ia tidak ingin memaksa mereka. Ia hanya memberikan isyarat mengenai harapannya ini.

“Anda tahu, bukan? Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana,” katanya.

Jo EunPenyair, Penulis Cerita Anak
Ha Ji-kwonFotografer

전체메뉴

전체메뉴 닫기