Seorang sosiobiologis dan etologis di Universitas Perempuan Ewha, Profesor Choe Jae-chun, sudah lama memperingatkan bahayanya perusakan ekosistem. Melihat bagaimana kita berjuang melawan COVID-19, ia memperkirakan skenario ini akan berulang jika manusia tidak melindungi alam dengan lebih baik.
“Kita perlu melakukan refleksi mengenai semua kerusakan ekologis yang kita lakukan atas nama pertumbuhan ekonomi, dan kita harus berubah. Jauh lebih ekonomis melindungi alam daripada mengembangkannya.”
Profesor Choe Jae-chun dan Dr. Jane Goodall mengunjungi Dragon Swamp di Gunung Daeam di Provinsi Gangwon, pada 2017, dalam sebuah acara untuk mempromosikan perlindungan lingkungan, diselenggarakan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati yang dipimpinnya. Yayasan ini mendukung penelitian akademis dalam studi hewan dan lingkungan serta pengembangan dan distribusi materi pendidikan. Dragon Swamp, atau Yongneup, adalah lahan basah yang pertama dilindungi di Korea yang terdaftar di bawah Konvensi Ramsar. © Cho Soo-jeong
Semut rangrang adalah bintang di Lembaga Ekologi Nasional, yang terletak di Kabupaten Seocheon, Provinsi Chungcheong Selatan. Semut yang berasal dari wilayah tropis di Amerika Selatan dan Amerika Tengah ini memotong daun, membawanya ke sarang, dan mengunyahnya menjadi campuran yang digunakan untuk memupuk jamurnya. Semut-semut ini sudah bercocok tanam jauh lebih lama daripada manusia, yang baru mulai beternak dan mengolah lahan sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Hasil observasi terhadap semut-semut ini menunjukkan bahwa ketika mereka sangat aktif, sebagian dari mereka menutup diri dengan semacam tepung putih. Tepung ini sebenarnya bakteri dengan antimikrobial yang berfungsi membasmi hama penyerang tanaman jamur. Selama berjuta-juta tahun, proses ini merupakan simbiosis antara semut rangrang dan mikroorganisma.
Profesor Choe Jae-chun, ekologis dan pendiri lembaga ini, membawa semut-semut ini ke kantornya. Ia dikenal sebagai “Dokter Semut” dan advokat lingkungan, dan sudah lama lantang menyuarakan pandangannya bahwa “untuk menjaga keragaman hayati, kita harus mengatasi krisis iklim dan melakukan sesuatu.” Pada suatu hari di musim semi, saat forsythia sedang mekar, saya bertemu dengannya di kampus Ewha.
Profesor Choe Jae-chun menegaskan pentingnya terlibat dalam isu-isu perubahan iklim selama wawancara di kantornya di kampus Ewha Womans University. Dr. Choe saat ini mengajar dan melayani di Ewha sebagai ketua departemen.
Anda sudah lama memprediksi wabah seperti yang kita alami sekarang, bukan?
Sebagai seorang ekologis yang mempelajari ekologi dan evolusi, saya pasti khawatir mengenai masalah yang timbul antara manusia dan virus. Hal pertama yang harus diketahui: jika manusia dan virus berperang satu sama lain, manusia tidak mungkin menang. Virus sudah ada di muka bumi jauh lebih lama daripada manusia. Sekarang jumlah virus di seluruh dunia tidak terhitung dan mereka siap menyerang. Ketika ada kesempatan, virus ini melakukan segala cara untuk bermutasi dan menjadikan tubuh manusia sebagai inangnya. Sebagian besar tidak berhasil. Tapi, yang terjadi sekarang adalah ada virus yang secara mengejutkan membuka diri.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi situasi pandemi ini?
Kita pasti akan menemukan cara untuk mengatasi pandemi ini. Masalah yang lebih besar adalah pandemi ini bukan yang terakhir. Akan selalu ada virus baru yang mencari manusia sebagai inang. Meski kita berhasil membuat vaksin untuk virus korona dalam 18 bulan mendatang, ada kemungkinan ketika vaksin itu sampai di tangan kita, muncul virus lain.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Kita perlu cara penanganan dasar yang dapat dipakai menghentikan penyebaran semua virus. Saya menyebutnya “vaksin ekologi” dan “vaksin perilaku.”
Vaksin perilaku itu seperti pembatasan sosial tapi lebih intensif.
Benar sekali. Pembatasan sosial adalah contoh vaksin perilaku ini. Mungkin terdengar sangat sederhana. Kita hentikan kegiatan di seluruh dunia selama dua minggu – tidak lebih – pasti semua jalur penyebaran COVID-19 akan tertutup dan satu-satunya pekerjaan yang harus kita lakukan adalah mengobati mereka yang sudah terinfeksi. Andai seluruh dunia bekerja sama, dan semua orang bersedia menghentikan kegiatan, tidak ada vaksin yang lebih efektif daripada cara ini.
Apakah vaksin ekologi berarti menghentikan perusakan ekosistem yang dilakukan oleh manusia?
Benar. Alasan virus terus menyerang manusia adalah banyak binatang menjadi inang sebelumnya dan ekosistem alaminya sudah tidak ada lagi. Dulu, tidak ada kesempatan bagi virus yang menumpang hidup di tubuh kelelawar di gua yang ada di hutan bisa sampai ke tubuh manusia. Sama sekali tidak ada alasan bagi kelelawar, atau luwak, atau unta, atau trenggiling melakukan kontak dengan kita. Itu akibatnya jika hutan dirusak dan binatangnya ditangkap dan diternakkan untuk dikonsumsi – dua hal yang lumrah saat ini. Mulai sekarang, seharusnya kita tidak mengganggu binatang-binatang liar itu sehingga virus pun tidak melakukan lompatan dan menjadikan manusia sebagai inang. Inilah penjelasannya mengapa perubahan iklim dan punahnya keragaman hayati berhubungan dengan penyebaran virus.
Profesor Choe menjelaskan ekologi semut kepada sekelompok siswa sekolah dasar yang mengadakan pameran khusus tentang kehidupan semut di National Institute of Ecology pada tahun 2015. Ia menjabat sebagai direktur pendiri institut itu dari 2013 hingga 2015. © Munhwa Daily
Manusia menganggap perusakan ekologi sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi.
Itulah masalahnya. Kita sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga menganggap perusakan ekologi bukan sesuatu yang penting. Sekarang apa yang harus dilakukan? Ekonomi global terhenti karena wabah virus dan ini menyebabkan kerugian yang tak terbayangkan sebelumnya. “Kita perlu melakukan refleksi mengenai semua kerusakan ekologis yang kita lakukan atas nama pertumbuhan ekonomi, dan kita harus berubah. Jauh lebih ekonomis melindungi alam daripada mengembangkannya. Kita harus mengerti bahwa vaksin ekologis perlu dilakukan untuk menghalangi wabah virus lain.
Apakah menurut Anda ini menjadi kesempatan bagi kita mengubah perilaku?
Bagaimana mungkin? Manusia adalah binatang yang sangat pelupa. Ketika pandemi berakhir, akan ada orang-orang yang segera kembali seperti sebelumnya. Tapi, tidak diragukan lagi pandemi ini juga menjadi momen kesadaran ekologi, dan jumlah orang yang tergerak makin banyak.
Mengenai vaksin perilaku, sepertinya pembatasan sosial perlu terus dilakukan.
Manusia adalah satu-satunya binatang di muka bumi yang bergaul bebas dengan individu yang tidak dikenal dari spesiesnya. Bahkan, ketika 20-30 orang yang tidak saling mengenal duduk di kedai kopi Starbucks, kita bisa masuk ke dalamnya seorang diri tanpa merasa khawatir. Menurut Anda, apa yang akan terjadi jika hal serupa ada di dalam dunia simpanse? Kelompok simpanse akan menyerang dan simpanse asing itu akan mati dalam waktu kurang dari satu menit. Hal yang sama akan terjadi pada semut. Virus ini memang membuat kita menjaga jarak satu sama lain untuk sementara waktu, tapi menurut saya tidak akan selamanya demikian. Selama kita masih berada dalam proses evolusi, kita akan terus berkelompok, bertemu, dan tentu saja bersentuhan. Kalau wabah virus ini terus berlangsung, kita harus mengulangi proses pembatasan itu lagi.
Kampus ditutup dan kuliah diadakan secara online. Apa yang Anda lakukan untuk mengisi waktu di saat-saat seperti ini?
Ini adalah waktu paling bebas yang saya miliki setelah bertahun-tahun. Sebagian besar ceramah dan konferensi, baik di Korea maupun di luar negeri, dibatalkan. Saya bertemu mahasiswa saya melalui kuliah online dan menikmati hal yang tak terduga ini. Saya juga bisa mengerjakan manuskrip buku yang selama ini tertunda karena jadwal yang padat, dan sekarang buku ini hampir selesai. Semoga tidak lama lagi.
Buku itu tentang apa?
Ini buku tentang bagaimana berdiskusi dengan baik. Sedikit menyimpang untuk seorang ekologis, kan? Sebenarnya tidak begitu. Banyak binatang di dunia ini bisa belajar. Tapi, di antara semua binatang yang bisa belajar yang jumlahnya tidak terbatas itu, hanya manusia yang mampu menjadi “dewa dari segala makhluk.” Alasannya karena manusia adalah binatang yang menentukan garis awalnya sendiri.
Binatang yang menentukan garis awal?
Di antara binatang-binatang itu, manusia adalah satu-satunya yang mencatat pengetahuan yang diperolehnya dan menurunkannya kepada anak cucu. Setiap generasi memindahkan garis awal sejauh pencapaian generasi sebelumnya, kemudian mulai dari titik ini menuju lebih jauh lagi. Kita satu-satunya spesies yang melakukannya. Jadi, tugas paling penting manusia adalah belajar dari generasi sebelum kita, percaya satu sama lain dan membagikan pengetahuan itu. Untuk dapat melakukannya, kita harus memiliki kemampuan dalam diskusi dan debat. Inilah alasan seorang ekologis tertarik menulis mengenai bagaimana cara menjadi pendebat yang baik.
Bagus sekali kalau pandemi ini bisa mempengaruhi garis awal manusia secara positif.
Dr. Jane Goodall, yang selalu bicara mengenai harapan, mengatakan sesuatu kepada saya baru-baru ini. “Semua ini pasti akan berlalu,” katanya “Kita sudah mengalami hal seperti ini beberapa kali. Barangkali, sekarang manusia akan mulai mengerti bahwa sebaiknya kita tidak merusak alam; mungkin sekarang penjelasan-penjelasan itu masuk akal buat mereka.” Saya sangat berharap demikian.