Yeoju terletak di pusat semenanjung Korea dan merupakan sebuah kota sungai yang sejak lama berfungsi sebagai pusat pengapalan barang dan pusat industri keramik. Beras dari wilayah ini juga dikenal berkualitas tinggi. Selain itu, kota ini dikenal dengan vihara-vihara kuno dan lingkungan sekitarnya sebagai destinasi wisata yang sangat layak dikunjungi.
Benteng Pasa di Yeoju, Provinsi Gyeonggi, memberikan pemandangan yang terlihat jelas ke Sungai Han Selatan danpegunungan di sekitarnya. Dibangun oleh Silla pada pertengahan abad keenam selama periode Tiga Kerajaan, dindingbenteng melingkar sekitar 950 meter dan setinggi 6,5 meter. Setiap pasukan musuh yang mendekat di sungai denganmudah dideteksi.
“Travelog Menelusuri Warisan Budaya Korea” menjadi sensasi ketika buku pertama seri ini terbit di awal tahun 1990-an. Buku ini merupakan buku perjalanan di Korea pertama yang terjual jutaan eksemplar dan menarik perhatian semua orang di negara ini. Dengan gaya penulisan yang gamblang dan mudah dimengerti, sejarawan seni Yu Hong-june memperkenalkan sebuah cara baru bagi orang Korea untuk menghargai warisan budaya mereka dan secara bersamaan memberikan pencerahan kepada wisatawan mancanegara.
Dalam volume kedelapan seri ini, Yu menyarankan dua perjalanan wisata bagi pengunjung yang hanya memiliki satu hari menjelajahi budaya dan lingkungan alam negara ini. Satu di antaranya adalah wisata ke Yeoju, yang bisa ditempuh dalam satu jam dengan mobil dari Seoul.
Meski dianggap sebagai destinasi menarik bagi wisatawan internasional, tempat-tempat ini sebenarnya sangat biasa dan sudah dikenal oleh orang Korea. Pembaca di dalam negeri tidak terlalu terpengaruh oleh penjelasan Yu mengenai nilai estetik vihara-vihara itu. Mengapa ia tidak mengangkat situs sejarah lain yang lebih bergengsi dan keindahannya sudah sangat diakui? Mengapa ia merekomendasikan Yeoju yang kuno dan tenang?
Tanah yang Tak Kasatmata
Gambar Buddha berdiri, tinggi 223cm dan lebar 46cm, diukir di sisi tebing sepanjang Sungai Han Selatan, adalah karya awal Goryeo (935-1392) yang meneruskan gaya Silla Bersatu (676-935), sebagaimana dibuktikan oleh detail tirai dan alas teratai halus dan lingkaran cahaya.

Pagoda bata di Kuil Silleuk berdiri di sisi berbatu dari halaman kuil, menghadap ke Sungai Han Selatan. Pagoda setinggi 9,4 meter, yang dinamai Harta No. 226, kemungkinan dipengaruhi oleh konstruksi batu bata yang diperkenalkan ke Korea dari Cina sekitar abad ke-10.© Kantor Berita Yonhap
Ketika dokter-dokter Barat pertama kali melihat pengobatan Asia, mereka sering kali terkejut melihat diagram anatomi tubuh manusia yang jarang memperlihatkan otot. Diagram itu fokus pada titik-titik akupunktur dan aliran gi (qi dalam bahasa Cina), atau energi vital, dalam tubuh manusia.
Francisco Gonzalez-Crussi, seorang dokter dan penulis berkebangsaan Meksiko, mencoba menjalaskan dua pandangan mengenai dunia dan tubuh manusia. Menurutnya, kalau bangsa Barat mencoba membuka sistem kompleks tubuh manusia melalui otot-otot sebagai cara manusia mengekspresikan keinginan, bangsa Asia berusaha melihat denyut nadi dan jantung sebagai pusat kontrol semua pergerakan tubuh.Dengan pengertian seperti ini, barangkali Yu ingin memperlihatkan “energi yang tak kasatmata” dari lingkungan alam dan warisan budaya Korea, bukan “otot-otot” mereka.
Bangsa Korea melihat tanah berdasarkan pungsu jiri (cara menafsirkan keadaan tanah, atau istilah dalam bahasa Korea untuk feng shui). Kata-kata ini secara harfiah berarti “angin dan air” dan “memahami tanah.” Untuk memahami pungsu, kita harus mengetahui gi. Pengertian “energi vital” tidak ada padanannya dalam budaya Barat. Gi didefinisikan sebagai sumber atau dasar segala sesuatu yang memiliki bentuk. Pemikiran yang berhubungan dengan waktu dalam filsafat Asia adalah bahwa gi di dalam tanah memberi kehidupan kepada semua benda. Ilmu yang mempelajari energi yang tak kasatmata dari tanah ini disebut pungsu.
p>
Kota Sungai yang Dinamis
Yeoju seperti Seoul dalam banyak hal. Kedua kota ini dikelilingi oleh pegunungan yang indah dan dilalui Sungai Han, yang membagi bagian tengah semenanjung Korea dengan alirannya dari timur ke barat. Perjalanan dengan kapal dari Yeoju ke Seoul bisa ditempuh dalam waktu satu hari. Jadi, dulu, pengiriman beras Yeoju yang sangat terkenal, garam, ikan asin (jeotgal) dan hasil laut yang segar dari pantai barat bisa sampai di ibu kota hari itu juga.
Selama Dinasti Goryeo (918-1392), hasil panen itu dipakai untuk membayar pajak dan dikirim melalui Sungai Han. Yeoju berfungsi sebagai persinggahan bagi kapal-kapal yang membawa upeti dan kapal-kapal dagang, dan kaum terpelajar dan pejabat pemerintah dengan matanya yang jeli dalam mencari tempat tinggal mulai mengarah ke sini.
Ketika ibu kota dipindahkan ke Hanyang (sekarang Seoul) di awal Dinasti Joseon (1392-1910), Yeoju menjadi rumah bagi mereka yang memiliki jabatan dan pengaruh besar. Hal ini secara signifikan meningkatkan reputasi politik dan budaya kota ini. Akibatnya, lebih dari seperlima dari semua ratu Dinasti Joseon berasal dari Yeoju dan wilayah ini juga menjadi rumah bagi banyak pagoda dan bangunan bersejarah lain yang termasuk dalam “Kekayaan Nasional” atau “Bernilai Tinggi” dibanding daerah-daerah lain di negara ini.
Walaupun cepat dan nyaman, pengiriman kargo melalui air sangat berisiko. Sering terjadi kecelakaan yang memakan korban barang dan nyawa, sehingga sudah menjadi kebiasaan yang sangat umum bagi pelaut untuk berdoa kepada Buddha memohon keselamatan. Di antara patung batu Buddha di Korea, hanya dua yang terletak di sisi sungai. Keduanya menghadap Sungai Han. Satu terletak di samping pelabuhan sungai Geumcheon lama di Changdong-ri, Chungju, di bagian tengah negara ini. Lainnya terletak di Bucheoul (yang secara harfiah berarti “Buddha di bagian sungai yang airnya deras”) di Gyesin-ri, tepat di atas pelabuhan sungai Ipo lama di Yeoju.
Batu yang dipahat menjadi patung-patung Buddha itu berbeda ukuran, bentuk dan komposisinya. Namun, keduanya dibuat pada masa Dinasti Goryeo, dengan ciri gaya dari Tiga Kerajaan (676-935). Para penumpang dan kru akan mendongak ke arah patung Buddha dan berdoa untuk keselamatan perjalanan mereka.
Pagoda Batu Bata dan Keramik Cina Berglasir Hijau
Diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong (memerintah. 579-632) di Silla, Kuil Silleuk bernilai karena suasananya yang nyaman dan hangat. Ditemukan di dalam lahannya adalah harta karun yang dilindungi oleh negara, termasuk lentera batu, pagoda bata, dan Treasure Hall of Paradise.
Berbeda dari kebanyakan vihara Buddha Korea, yang terletak di pegunungan, Vihara Silleuk Yeoju menghadap ke sungai yang mengalir di bawahnya. Struktur arsitektur reruntuhan vihara yang paling tua berupa sebuah pagoda yang terbuat dari batu bata di atas batu yang menghadap ke sungai Han. Tata letak vihara-vihara Buddha sekarang dirancang dengan menjadikan aula sebagai pusatnya, sedangkan pada masa itu pagodalah yang menjadi pusat dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan lain.
Sungai Han merupakan sungai terbesar di antara semua sungai di bagian selatan semenanjung Korea. Di masa lalu, lebar sungai ini ditambah hujan deras sering mengakibatkan banjir musim panas.
Pagoda batu bata Vihara Silleuk berdiri di tebing tinggi di bagian yang sangat terjal dari sungai ini dan sudah memakan banyak kapal. Penempatan pagoda di tempat ini dilakukan untuk mengingatkan kapal-kapal yang melintas akan bahaya yang mengintai. Ini adalah contoh bibo, prinsip menyiasati kekurangan suatu lokasi. Jika batuan dan pegunungan adalah otot daratan, sungai adalah nadinya. Pembangunan pagoda di tebing ditujukan untuk menekan energi negatif tanah dan memurnikan “darah” dengan membuatya bersih dan lembut. Sekarang, pagoda ini tidak terlihat. Pagoda ini bahkan tersembunyi karena adanya Gangwolheon, atau Paviliun Sungai dan Bulan.
Pagoda batu bata jarang ada di Korea, yang tidak punya tradisi batu bata. Tradisi ini berubah ketika Kerajaan Silla mengirim biksu Buddha ke Cina untuk belajar tren ajaran Buddha terbaru. Berkat perjalanan mereka, Korea mengadopsi banyak sistem dan aspek budaya Dinasti Tang di Cina, termasuk pagoda batu bata.
Tidak jauh dari Vihara Silleuk terdapat situs tungku batu bata bergaya Cina. Bangunan ini berasal dari paruh terakhir abad ke-10, yaitu masa Dinasti Goryeo, sekitar waktu yang sama dengan dibangunnya pagoda batu bata di Vihara Silleuk. Bisa dibayangkan tukang bangunan yang didatangkan dari Cina ke Korea, menyeberangi Laut Barat dan mengawasi pembangunan pagoda itu, yang merupakan proyek bersama dengan tukang bangunan Goryeo. Bukti kegiatan ini ditemukan dalam desain kertas bunga yang disebut dangcho – secara harfiah berarti “rumput Tang” – yang mempercantik batu bata itu.
Perkenalan tungku batu bata juga menyebabkan lahirnya seladon Goryeo berwarna hijau yang sangat disukai oleh Xu Jing, utusan Dinasti Song, dalam bukunya tahun 1123 “Goryeo dalam Ilustrasi” (dalam bahasa Korea Goryeo dogyeong, dalam bahasa Cina Gaoli tujing). Tungku batu bata bergaya Cina awalnya ada di Provinsi Gyeonggi, yang berbatasan dengan ibu kota. Secara bertahap, tukang bangunan Goryeo mengganti tungku batu bata ini dengan tungku tanah bergaya Korea dan beralih dari metode pemanasan Cina dengan menggunakan temperatur sangat tinggi. Teknik pemanasan dua tahap – pemanasan biskuit diikuti dengan pelapisan glasir – menyebar ke seluruh wilayah Korea. Proses ini memungkinkan produksi keramik di mana saja selama di tempat itu lempung bisa ditemukan dengan mudah dan mendorong perkembangan keramik seladon Goryeo berkualitas tinggi. Tradisi pembuatan keramik ini berlangsung selama berabad-abad. Saat ini, sekitar 400 tempat pembuatan keramik beroperasi di Yeoju.
Situs Kuil Godal, sekitar 60.000 meter persegi luas total, menunjukkan ukuran dan ruang lingkup candi yang hilang. Dibangun pada paruh kedua abad ke delapan, kuil ini berkembang selama beberapa ratus tahun. Dua stupa yang sangat indah dan kekayaan budaya lainnya yang terbuat dari batu tetap ada.
Tidak seperti vihara-vihara Buddha Korea lain, yang terletak di pegunungan, Vihara Silleuk di Yeoju dibangun di dekat sungai. Struktur arsitektur reruntuhan vihara yang paling tua berupa sebuah pagoda yang terbuat dari batu bata di atas batu yang menghadap ke sungai Han.
Tanah yang Hidup dan Bernafas
Stupa batu yang disebut Harta Nasional No. 4, berdiri setinggi 4,3 meter di atas bukit di belakang situs Kuil Dewa. Berasal dari periode Goryeo, stupa diakui karena bentuknya yang halus dan teknik pahatan yang ditampilkan dalam ukiran naga dan kura-kura di tugunya.
Ada dua jalur darat dari Seoul ke Yeoju: jalur pertama lewat sebelah utara Sungai Han dan jalur kedua lewat sebelah selatannya. Dengan berjalan kaki, kedua jalur ini memakan waktu dua hari.
Jalur utara dipakai pada periode Tiga Kerajaan (tahun 57 sebelum Masehi – 668 Masehi). Jalur ini menghubungkan Sungai Namhan dengan desa-desa dan vihara-vihara melalui transportasi air. Dari Pasaseong, benteng pegunungan di Yeoju, pemandangan sungai sangat spektakuler. Pemandangan terbuka menghadap ke selatan memperlihatkan Jembatan Ipo melintasi aliran air ke barat. Ke arah utara, puncak Gunung Taebaek terlihat di kejauhan. Jika Anda berdiri di sana, pertanyaan mengapa benteng itu dibangun di lokasi ini dan mengapa Tiga Kerajaan – Goguryeo, Baekje and Silla – bertikai dalam waktu yang panjang memperebutkan daratan ini akan terjawab. Ini juga jalur sulit yang dilalui oleh dua raja Goryeo: Raja Mokjong (bertahta tahun 997-1009) ketika ia turun tahta dan diasingkan ke Chungju, dan Raja Gongmin (bertahta tahun 1351-1374) ketika ia mengungsi ke Andong karena adanya invasi pasukan Serban Merah.
Rute ini juga mengarah ke lokasi lapang dan bagus tempat berdirinya Vihara Godal. Di vihara yang membelakangi Gunung Hyemok ini, aura sejarah masih menyelimuti tanah lapang ini. Selama periode Goryeo, wilayah vihara mencapai lebih dari 12 km dalam empat penjuru dan menampung ratusan biksu. Ini menunjukkan bagaimana bangsawan Goryeo membanjiri dengan hak-hak istimewa dan dukungan keuangan untuk mereka. Namun, menurut para cendekiawan, kebesaran vihara ini hilang ketika Goryeo mulai menerima ajaran Konfusius di Joseon pada abad ke-14, yang menyebabkan bantuan dan dukungan negara berhenti dan ajaran Buddha tidak bertahan.
Reruntuhan situs ini merupakan karya seni Buddha, termasuk stupa dan pagoda batu seperti Stupa Vihara Godal (Kekayaan Nasional No. 4), dengan pahatannya yang sangat indah. Selain sangat indah dilihat, pagoda-pagoda itu juga merupakan contoh simbolik struktur vihara yang didirikan untuk menunjukkan kekuatan peng-
uasa dengan memimjam energi tanah. Pagoda-pagoda itu merupakan objek yang menarik bagi orang kebanyakan untuk waktu yang lama.Saat ini, di mana pun Anda berdiri di situs vihara itu, ke mana pun Anda memandang, Anda akan melihat gunung di kanan dan kiri Anda, dan sangat sulit menemukan jejak vihara besar itu pernah berdiri di sana. Namun, ketika menuruni bukit-bukit di belakang reruntuhan itu dan mendengarkan suara angin yang bertiup, Anda akan merasakan kehangatan dan kenyamanan, pikiran Anda tidak akan kosong atau tercerai-berai. Barangkali perasan ini datang dari tanah yang hidup dan bernafas.
Mata Ketiga
Makam Ratu Inseon, yang terletak tepat di bawah makam Raja Hyojong (memerintah 1649-1659) dari Joseon, dikelilingi oleh patung-patung batu. Makam Kerajaan Yeongnyeong termasuk makam bersama Raja Sejong (memerintah 1418-1450) dan Ratu Sohyeon di kompleks barat, dan makam pasangan Raja Hyojong dan Ratu Inseon di komplek timur. Makam-makam ini memancarkan martabat dan kesungguhan yang menandai makam kerajaan dari Dinasti Joseon.
Rute selatan ke Yeoju dari Seoul melahirkan jaringan jalan dari ibukota ke Dongnae di Busan selama periode Joseon. Jalan ini dilalui oleh Raja Sejong (bertahta tahun 1418-1450) ketika mengunjungi Yeoju, tempat keluarga dari garis ibunya berasal, dan dalam perjalanan berburunya. Jalan ini juga dilalui oleh raja-raja setelahnya ketika mereka mengunjungi Yeoju untuk ziarah ke makamnya atau, di tahun-tahun setelah itu ke makam Raja Hyojong (bertakhta tahun 1649-1659). Makam Raja Sejong, yang semula terletak di Gwangju, Provinsi Gyeonggi, dipindahkan ke Yeoju karena dipercaya sebagai tanah yang paling bagus di negara ini.
Sedikit ke arah tenggara dari makan Raja Sejong, di Yeongneung, terdapat Yeongwollu, atau Paviliun Selamat Datang Bulan, yang dikenal dengan pemandangannya ke Sungai Han. Dari sini Anda bisa melihat kota Yeoju di sebelah barat. Jika Anda melihat ke arah utara ke seberang sungai Anda akan melihat jajaran pegunungan seperti lukisan. Beberapa gunung itu sangat dekat dan beberapa lagi jauh. Di antara pegunungan itu terdapat Gunung Hyemok, yang menjulang melampaui Vihara Godal. Hyemok merupakan istilah dalam ajaran Buddha yang berarti “mata ketiga.” “Kitab Pencerahan Sempurna” berisi manusia-manusia yang bisa merasakan dan sudah menguasai ilusi optik dan memurnikan mata ketiga mereka.” Tidak peduli setinggi apa saya naik, pikiran dan tubuh saya tidak merasakannya. Apakah ini artinya bagi saya, mata ketiga masih sangat jauh?
1 Jembatan Ipo2 Dunia Keramik Yeoju3 Penyeberangan Ferry Tua4 Tempat Lahir Permaisuri Myeongseong