Fermentasi yang memerlukan waktu dan perawatan merupakan ciri khas yang paling menonjol dalam budaya kuliner Korea. Di antara sejumlah makanan fermentasi Korea yang dikenal dengan rasa yang dalam dan gurih, ganjang (kecap asin) dianggap sebagai bahan yang sangat penting karena ganjang adalah bahan dasar dalam makanan Korea. Satu keluarga secara khusus telah mempertahankan kecap asinnya selama 360 tahun, dengan tugas menjaga saus pusaka yang diwariskan melalui menantu perempuan tertua.
“Saya berharap itu tidak terlalu banyak masalah datang jauh-jauh ke tempat terpencil ini di mana tidak ada banyak yang bisa dilihat,” kata Ki Soon-do dengan tersenyum ramah. Dia berpenampilan anggun, layaknya seorang menantu pertama dalam sebuah keluarga besar. Dia lanjut bertutur bahwa rasa doenjang (pasta kedelai) yang difermentasi dengan baik pun akan muncul. Tutur katanya memancarkan perasaan nyaman mengingatkan pada doenjang, pasta kedelai yang difermentasi dengan baik. Seekor anjing putih mengikutinya berkeliling, menerima tamu bersamanya.
Dia membuat jang (saus fermentasi) selama 48 tahun dan dianugerahi gelar “Master of Traditional Korean Food No. 35” atas jasanya. Kementerian Pertanian, Makanan, dan Urusan Pedesaan Korea Selatan memberi gelar itu kepada orang yang menekuni bidang masakan tertentu selama lebih dari 20 tahun atau yang mendapat latihan dari seorang Master selama lebih dari lima tahun, kemudian bekerja di bidang masakan tertentu selama lebih dari sepuluh tahun melalui proses pemeriksaan yang ketat. Ki Soon-do menerima gelar itu di bidang pembuatan dan pengolahan jinjang, sejenis kecap asin yang difermentasi selama lebih dari lima tahun.
Apa ramuan rahasia dalam ganjang yang dibuatnya? Rumahnya terletak di kecamatan Changpyung, kabupaten Damyang, Provinsi Jeolla Selatan, tempat yang ditetapkan sebagai “kota yang lamban” pertama di Asia oleh Cittaslow International. Di halaman rumahnya terdapat sekitar 1.200 buah gentong saus berjajar seperti pasukan tentara. Berbagai macam jang sedang difermentasi di dalam sejumlah gentong saus itu dengan tahapan yang berbeda-beda.
“Bagaimana kalau Anda coba mencium ini?” Dia mengajak saya mencium salah satu jang sambil menarik lengan saya. Ketika saya membuka sebuah gentong saus, aroma istimewa keluar darinya. Aroma itu bercampur dengan bau apak, bau khas yang dimiliki oleh bahan hasil difermentasi, tetapi aroma itu juga sangat unik karena terdapat rasa manis. Dia membuat tiga jenis ganjang, yaitu chungjang, jungganjang, dan jinjang. Chungjang yang difermentasi kurang dari satu tahun digunakan untuk memasak sup seperti kongnamul guk (sup tauge) dan oi naengguk (sup mentimun dingin). Jungganjang yang difermentasi kurang dari 5 tahun memiliki warna gelap dan rasa asin. Jungganjang biasanya digunakan untuk membumbui bulgogi (irisan daging sapi yang diasinkan dan di bakar) dan jangjorim (daging direbus dalam kecap). Jinjang, jenis jang yang paling kental, difermentasi lebih dari 5 tahun digunakan untuk membuat yukpo (dendeng) and yakgwa (kue goreng manis). Untuk membuat masing-masing jang ini, kedelai kuning yang baru saja dipanen direbus, digiling, dan dibentuk menjadi kubus-kubus atau disebut meju, yang lalu dikeringkan di atas jerami untuk berfermentasi. Kubus tersebut kemudian direndam air garam selama beberapa bulan sebelum akhirnya dipisahkan untuk dijadikan kecap asin atau pasta kecap asin.
“Ketika saya merebus kacang, saya akan mandi dulu untuk melepaskan diri saya dari segala kotoran. Saya juga tidak pernah pergi ke rumah yang sedang berduka pada saat itu, sedekat apapun saya dengan keluarga yang berduka. Saya ingin mencurahkan diri sepenuhnya untuk pekerjaan baik secara jasmani maupun rohani. Saya selalu menganggap bahwa membuat dasar jang merupakan pekerjaan yang sangat sakral,” kata Ki Soon-do.
“Kami membuat meju dengan merebus kacang pada Hari Dongji yangditentukan berdasarkan kalender lunar. Setelah difermentasi selama sebulan, kami baru membuat ganjang darinya pada hari kelima belas bulan pertama tahun lunar. Memilih tanggal untuk membuat ganjang itu sungguh penting. Tidak ada latihan. Ganjang yang dibuat pada hari itu menentukan rasa semua masakan di meja makan kami sepanjang tahun.”
Deretan lebih dari 1.200 botol saus di halaman rumah Ki Soon-do di Damyang, Provinsi Jeolla Selatan, membuat pemandangan yang spektakuler. Ki telah membuat bumbu menggunakan metode tradisional selama 48 tahun terakhir. Pada tahun 2008, kontribusinya dalam pembuatan saus dan kualitas produknya membuatnya mendapatkan gelar Ahli Makanan Tradisional Korea No. 35.
Pengabdian Sepenuh Hati
Kerja keras dan ketulusanya dikenal luas hingga ke luar negeri. Beberapa koki yang terkenal di dunia, misalnya Eric Ripert di New York dan René Redzepi di Kopenhagen pernah mengunjungi Ki Soon-do. Ketika Donald Trump, Presiden AS melawat ke Korea dan diundang untuk makan malam di Gedung Biru (Istana Negara), ganjang yang dibuatnya disajikan di meja makan tersebut. Pada saat itu ganjang yang bersejarah kurang-lebih 300 tahun itu mendapat sorotan dari banyak media.
“Ketika membuat jang, saya selalu memakai garam bambu dan kacang lokal. Selain itu, saya menjaga siganjang (saus biji-bijian) sebaik mungkin. Setiap tahun, saya menambahkan kecap terbaik dari kumpulan kecap yang baru dibuat untuk mengganti jumlah yang dikonsumsi, kata Ki. Ketika ditanya apa kiatnya untuk membuat jang yang sebagus itu, dia menjawab rahasianya ada pada air dan garam. Dia menggunakan air dari bawah tanah yang sedalam 167 meter sebab air merupakan dasar penting dalam jang. Selain itu, dia menggunakan bambu dari Damyang untuk garam bambu. Damyang yang merupakan kampung halaman Ki Soon-do adalah sebuah kota terkenal sebagai penghasil bambu berkualitas tinggi. Meskipun bahan merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan rasa saus, ketrampilan juga tidak kalah penting dalam menghasilkan saus yang bagus. Garam bambu yang dipakainya pun jauh berbeda dari yang biasa dijual di pasar. “Garam bambu yang saya pakai itu adalah garam teluk yang berasal dari pesisir Laut Barat. Garam itu dibakar berulang kali, yaitu sebanyak 9 kali selama tiga malam dalam tempat pembakaran yang terbuat dari tanah liat merah.” Ketika dia menjelaskan hal itu, suaranya penuh dengan rasa bangga.
“Kami membuat meju dengan merebus kacang pada hari Dongji berdasarkan kalender lunar. Setelah difermentasi selama sebulan, kami baru membuat ganjang darinya pada hari kelima belas bulan pertama tahun lunar. Memilih tanggal untuk membuat ganjang sungguh penting. Tidak ada latihan. Ganjang yang dibuat pada hari itu menentukan rasa semua masakan di meja makan kami sepanjang tahun,” katanya. Di samping itu, dia sendiri yang membuat tempat fermentasi dari tanah liat merah. Menurutnya, tanah liat merah tidak hanya menurunkan bau apak dari meju, tetapi juga memberi rasa manis padanya.
Resep Pusaka
Ganjang (kecap kedelai) adalah bumbu dasar yang digunakan dalam masakan Korea. Di masa lalu, membuat kecap adalah acara tahunan yang penting bagi setiap rumah tangga, dengan perbedaan rasa yang halus di setiap rumah tangga sungguh dihargai. Tetapi kebanyakan orang Korea menggunakan kecap yang dibeli di toko akhir-akhir ini.
“Anda pasti sedang lapar. Silakan makan ini. Saya membuat ini tanpa gula,” katanya sambil menyajikan danggeun jeonggwa (wortel yang difermentasi di dalam madu), doraji jeonggwa (bunga bel yang difermentasi di dalam madu) dan yakgwa. Dia pandai bukan hanya dalam membuat segala jenis jang, tetapi juga dalam membuat berbagai masakan tradisional. Ketika saya mengunyah doraji jeonggwa yang dibuatnya, rasanya seakan-akan surga dibentangkan di dalam mulut saya. Bagi saya kata ‘manis’ kurang cukup untuk mendeskripsi rasanya karena rasa itu sangat luar biasa. Rasa manis disusul rasa agak pahit. Yakgwa, teksturnya sangat unik karena tidak garing dan juga tidak renyah. Ketika saya menanyakan apa kiat untuk menghasilkan rasa manis yang unik dalam doraji jeonggwa dan yakgwa, dia menjawab bahwa dia tidak menggunakan sirup biasa. Yang digunakannya adalah sirup yang dibuatnya sendiri dengan cara tradisional.
Dia melihat saya merasa haus, lalu dia membawakan sikhye (minuman manis yang dibuat dari nasi) untuk saya. Sikhye itu jauh berbeda dari yang biasa saya minum. Rasanya tidak begitu manis dan banyak butir nasi di dalamnya. Menurutnya, banyaknya butir nasi membuat rasa manis mengental karena rasa manis justru berasal dari nasi yang difermentasi. Selain itu, dia mengatakan bahwa sirup untuk membuat sikhye dibuatnya sendiri dengan menggunakan tunas.
Dia adalah jongbu generasi ke-10 dari marga Yangjinjae, salah satu marga dari Koh yang berakar ke Jangheung. Jongbu berarti menantu pertama dalam keluarga utama dari suatu marga, yaitu jongga, dan dia bertanggung jawab dalam menjaga sejumlah tradisi marganya, termasuk yang berhubungan dengan makanan. Setiap marga memiliki resep masakan tersendiri, yang diturunkan secara turun-temurun dan resep masakan itu biasanya menggunakan bahan masakan lokal semaksimal mungkin. Resep pusaka dari marganya adalah ueongdelketang (sup biji perilla dengan akar burdock), juksunjeon (rebung tumis), ganjang kimchi (kimchi kecap), dan bekilju (sake beras yang diseduh selama 100 hari).
Ueongdelketang adalah masakan yang sangat enak dan baik untuk kesehatan. Untuk membuat masakan itu, ueng (akar burdock), jamur, dan bawang merah dipotong, lalu digoreng dengan minyak biji perilla, kemudian direbus cukup lama dalam air dengan bubuk biji perilla yang digiling, daun bawang, dan bawang putih. Juksunjeon adalah masakan yang bisa dinikmati rasa alami bahan-bahan terkandung di dalamnya. Namun, yang paling unik di antara ketiga masakan itu adalah ganjang kimchi yang dibuat dari ganjang, sebagai pengganti jeotgal (ikan-ikanan hasil fermentasi garam). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa esensi dalam vegetarianisme yang kini sangat populer di seluruh dunia ternyata terdapat di dalam rumahnya.
Ki soon-do mengatakan, dia tidak pernah memimpikan menjadi menantu pertama dalam sebuah marga ternama. Dia lahir di Gokseong yang kira-kira ditempuh selama 40 menit dengan mobil dari Damyang. Dia adalah bungsu dari enam bersaudara dan mendapat didikan sangat ketat dari orang tuanya yang sangat menjunjung tinggi etika bangsawan dari zaman kerajaan Joseon. Sebagai anak bungsu sangat disayangiorang tuanya, dia tidak pernah bekerja di dapur sejak kecil. Namun, setelah menikah saat usia 23 tahun dan menjadi menantu pertama dalam keluarga utama dalam suatu marga yang bertangung jawab dalam banyak acara keluarga, dia harus menggurus lebih dari 30 upacara persembahan untuk nenek moyang setiap tahun. Setelah satu ucapara persembahan untuk nenek moyang baru selesai, persiapanan upacara lain menunggunya. Selain itu, dia harus membantu mertua dalam membuat jang dalam kesibukan sehari-hari. Dia menerima segala sesuatu itu sebagai nasibnya sendiri.
“Ketika mertua saya masih hidup, ada 50 buah gentong saus di rumah kami. Begitu kami membuat jang, sejumlah tetangga kami datang ke rumah untuk memintanya karena begitu enaknya jang yang kami buat.” Terkenalnya rasa jang yang dibuat mereka akhirnya membuat keluarganya membuka bisnis di bidang pembuatan jang. “Dulu suami saya ingin menjadi biksu setelah dia belajar agama Buddha di Univeritas Dongguk. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin diperbolehkan karena dia anak laki-laki pertama dalam keluarga utama dalam suatu marga. Sebagai anak laki-laki pertama, dia diwajibkan untuk menikah dan meneruskan keturunan darah keluarganya. Oleh karena itu, dia tidak ada pilihan dan terpaksa mengurungkan keinginannya.”
Makin Melamban
Keluarga Ki memiliki seperangkat resep pusaka,salah satunya adalah sup biji perilla dengan akarburdock (deulkkae ueongtang). Sup, paling baikjika dibumbui dengan kecap berusia dua hinggalima tahun, adalah hidangan sehat yang dibuat daritumisan akar burdock, jamur dan bawang dalamminyak biji perilla, lalu semuanya direbus dalam airdan ditambahkan biji perilla, dicincang daun bawangdan bawang putih. © Perisahaan Makanan Tradisional Korea
Setelah suaminya, Koh Gap-seok meningggal dunia 10 tahun lalu, dia sendiri yang bertanggung jawab penuh dalam menjaga marganya dan mempertahankan tradisi marganya. Hasil dari usaha kerasnya sangat dihargai baik di dalam maupun di luar negeri. Jang yang dibuatnya dijual di Le Bon Marché, sebual mal di Paris dan dia diundang ke SIAL Paris (Salon international de l’alimentation), salah satu dari tiga pameran masakan terbesar di dunia pada tahun 2018. Pada tahun 2019, dia berpartisipasi dalam “Namdo Jongga Treasure Hunt” yang diselenggarakan oleh Organisasi Pariwisata Korea dan Asosiasi Marga Provinsi Jeolla Selatan.
Jika hanya dilihat dari hal-hal itu, dapat dikatakan bahwa perjalanan hidupnya penuh dengan kesuksesan dan kebahagiaan. Namun, kenyataannya tidak demikian. Anak laki-lakinya yang meraih gelar doktor di bidang ganjang di sebuah universitas ternama dan akan memimpin bisnis keluarganya, meninggal dunia akibat kecelakaaan. Kematian anaknya sungguh menyiksanya, tetapi dia berusaha melepaskan diri dari kesedihan dengan menekuni pekerjaannya membuat jang. Perusahaannya, PT Goryeo Traditional Foods (Kisoondo Traditional Jang) menjual berbagai jang, baik yang tradisional maupun yang dimodernisasi dan sejumlah masakan yang berdasarkan pada jang.
Kini, ketika “Lebih cepat lebih baik!” menjadi moto saat ini, tugas master pembuat kecap adalah mempertahankan rasa “kelambanan” dalam bumbu tradisional Korea. “Jika buatan saya tidak berbeda dengan buatan orang lain, maka saya tidak perlu membuatnya.” Perkataan itu bergema dalam hati saya ketika meninggalkan rumahnya. Perkataan itu menunjukkan tekadnya bahwa dia tidak akan tergiur oleh godaan komersial. Sekali lagi, anjing putih menemani tuannya untuk melepaskan saya pergi.
Ki mengikat balok meju dengan tali jerami untukmengeringkannya. Bahan penting yang menentukanrasa bumbu, meju biasanya dibuat di sekitar awalmusim dingin. Kedelai kuning direbus, dihancurkandan dibentuk menjadi balok, dibiarkan di tempatyang hangat agar tumbuh jamur untuk fermentasidan digantung di bawah sinar matahari. tempatkering.