Zaman di mana semua jenis barang bisa dipesan melalui aplikasi pesan antar smartphone tidaklah datang begitu saja secara mendadak. Budaya pengiriman Korea yang telah ada sejak zaman dinasti Joseon (1392-1910), membentuk sisi modernnya ketika melewati masa penjajahan Jepang pada paruh pertama abad ke-20, dan menyebar secara eksplosif bersamaan dengan pesatnya industrialisasi dan urbanisasi.
Pada tahun 1882, Paul George von Mollendorff, yang bekerja di konsulat Jerman Dinasti Qing dan menjadi penasihat asal Barat yang pertama di Joseon, datang ke Hanyang (nama lama Seoul). Ia mengkhawatirkan masalah makanan karena ketika itu nyaris tidak ada orang Barat di tanah Joseon. Malam harinya, seorang pejabat bersama bawahannya mendatangi penginapannya. Para bawahan itu mengangkut tandu yang terbuat dari kayu, dan begitu kain pembungkus di atas tandu dibuka, terdapat berbagai piring sajian makanan yang baru pertama kali dilihat seumur hidupnya. Sajian itu adalah makan malam Mollendorff. Mollendorff yang pernah mendapat pengalaman serupa di Cina memindahkan makanan kiriman itu ke atas meja dan menyantapnya.
“Dalam Perjalanan ke Pasar di Tengah Salju.” Diduga oleh Yi Hyeong-rok (1808-?). abad ke-19. Tinta dan warna terang di atas kertas. 38,8 × 28,2 cm. Museum Nasional Korea. Lukisan Dinasti Joseon ini menggambarkan pedagang yang menuju pasar dengan barang dagangan mereka dimuat di punggung kuda dan lembu. Itu adalah bagian dari album yang diduga dilukis oleh artis istana Yi Hyeong-rok. © Museum Nasional Korea
Upeti dan Hadiah
Usaha jasa pesan antar pada zaman dinasti Joseon merupakan kegiatan ekonomi penting yang menjadi dasar pengelolaan negara. Alasannya adalah karena sebagian besar barang-barang yang diperlukan di kerajaan diambil dari rakyat oleh kantor-kantor pengawasan daerah dan diserahkan ke kerajaan seperti pajak.
Sebagai contohnya, setiap tanggal 1 menurut kalender lunar diadakan upacara persembahan keagungan para raja dan ratu terdahulu, dan pejabat daerah akan mengirim bahan makanan seperti biji-bijian, ikan, buah, dan garam, serta barang keperluan sehari-hari seperti kertas, mangkuk, dan sebagainya. Para bawahan akan memuat gerobak dengan barang-barang dan pejabat daerah yang ditugasi mengangkut barang tersebut hingga Seoul penjadi pengawas proses pengiriman tersebut. Tugas ini sangat penting, karena jika pejabat dari tiap daerah yang ditugaskan mengirim hasil-hasil khas setempat tidak mengirim tepat pada waktunya, maka mereka akan ditarik dari jabatannya.
Sementara itu, para bangsawan lokal yang kaya mengirim hasil-hasil khas setempat kepada para penguasa dan kenalan di Seoul sebagai hadiah. Misalnya, Kim Soo-jong (1671-1736), hartawan daerah Buan yang memiliki ratusan budak, mengirim hasil laut kering seperti keringan teripang, abalon, kerang laut, gurita, dan lembaran rumput laut kering; hasil-hasil keringan lainnya seperti keringan daging burung pegar, daging babi, dan buah kesemek; serta kertas, kipas, topi, sisir, dan sebagainya kepada teman-teman dan pejabat tinggi yang tinggal di Seoul. Barang-barang yang dikirim dari Buan dengan jalur laut menelusuri pantai barat hingga Maponaru Seoul, akan dimuat oleh para bawahan ke dalam gerobak dan jige (pikulan tradisional Korea yang terbuat dari kayu), dan langsung dikirim ke tiap-tiap rumah. Ketika mengirim barang, Kim Soo-jong membuat dua dokumen berisikan daftar barang kiriman beserta jumlahnya. Satu ia simpan sendiri, dan satunya lagi ia kirim kepada si penerima barang.
Kirim-mengirim bahan makanan pun terjadi di antara suami dan istri ketika sang suami meninggalkan rumah untuk bekerja di daerah lain. Nyonya Lee yang tinggal di Andong mengirim bahan makanan seperti gurita, ikan amberjack (Seriola quinqueradiata), ikan halibut, garam, dan saus-sausan seperti gochujang (pasta cabai) dan doenjang (sejenis tauco) kepada suaminya Kim Jin-hwa (1793-1850) yang sedang bekerja di daerah lain. Sebagai bala-san, suaminya mengirim ikan makerel, pollack, ayu (Plecoglossus altivelis), haring, dan daging sapi ke rumahnya. Para bawahan merekalah yang berperan sebagai pengantar.
Para cendekiawan Joseon yang memuliakan ajaran neo-konfusianisme memandang rendah tindakan jual-beli dengan menggunakan uang, dan menganggap barter adalah tindakan sopan bagi orang bijaksana. Di antara para ilmuwan yang meneliti sejarah ekonomi, ada yang mengutarakan bahwa gaya pikir neo-konfusianisme tersebut menjadi latar belakang ideologi terbentuknya “ekonomi pesan-antar” pada masa Joseon.
Kartun editorial berjudul “Seorang Pengantar Makanan dan Seorang Wanita,” oleh Ahn Seok-ju, dari harian Chosun Ilbo edisi 5 April 1934. Wanita itu berseru dengan takjub, “Ya ampun … kamu membawa beban yang begitu berat dengan satu tangan!” dan kurir itu menjawab, “Kurasa benda-benda di rambutmu dan jari-jarimu pasti lebih berat.” © The Chosun Ilbo
Kesadaran Kelas
Meskipun semenanjung Korea mengalami malapetaka menjadi tanah jajahan Jepang pada awal abad ke-20, kota-kota di Korea sedikit demi sedikit berubah menjadi kota modern dan restoran bermunculan di sana sini. Hierarki antarkelas yang berlaku saat zaman dinasti Joseon runtuh secara superfisial seiring dengan perubahan zaman, namun aturan ini masih berlaku di antara mereka. Hal ini menjadi alasan dapat dimulainya bisnis pesan antar makanan. Pada tahun 1920-an, menu yang paling umum dijual di kedai makan Seoul adalah seoleongtang (sejenis sup daging sapi), dan pemilik kedai tersebut sebagian besarnya adalah tukang daging yang merupakan kelas terbawah saat zaman Joseon. Ketika itu, para bangsawan yang makan bersama rakyat kelas bawah di kedai makan milik tukang daging merupakan gambaran yang tidak dapat dibayangkan. Inilah alasan mengapa jasa pesan antar seoleongtang terbentuk pada masa itu.
Berbeda dengan zaman sekarang, ketika itu para pengirim mendapatkan bayaran saat mengambil kembali mangkuk kosong, sehingga kadang-kadang muncul cerita yang bisa membuat kita tertawa. Seorang pelayan rumah makan seoleongtang di Jongno terus mengantar makanan ke rumah yang sama. Namun, setiap kali ia datang untuk mencari mangkuk, pemesannya selalu tidak ada di rumah sehingga ia tidak bisa mendapatkan bayaran. Demikian, tiga empat kali ia kembali tanpa hasil hingga akhirnya kemarahannya muncul. Bersama teman-temannya, pelayan itu mengancam pembantu rumah tangga wanita yang bekerja di rumah pemesan. Pada akhirnya pelayan tersebut diseret ke kantor polisi.
Pada masa ini, masakan yang dikirim adalah menu-menu yang banyak muncul di kedai-kedai makan Seoul dan kota lainnya seperti seoleongtang, naengmyeon (mi dingin), dan tteokguk (sup kue beras). Saat itu masakan dipesan melalui telepon. Tentu saja ketika itu adalah masa di mana telepon hanya digunakan di kantor pemerintah, sebagian perusahaan, dan rumah-rumah orang kaya saja. Pengirim rumah makan yang menerima pesanan akan mencari rumah pelanggannya dengan menyetir sepeda gayung dengan tangan kiri sambil membawa masakan pesanan dengan tangan kanan. Dari kejauhan, pemandangan itu bagaikan pertunjukan akrobat sirkus sehingga kadang menjadi tontonan.
Seorang tukang pos di tahun 1900-an. Layanan pos modern Korea dimulai pada tahun 1884 dengan didirikannya Kantor Umum Administrasi Pos. Pada tahun-tahun awal, kereta kuda digunakan dalam pengiriman surat. © Museum Nasional Sejarah Kontemporer Korea
Pengantar barang berpose di depan Sajeongok, restoran naengmyeon terkenal di Incheon, dalam foto tahun 1930-an ini. Mie dingin yang disajikan di sini konon sangat enak sehingga pesanan datang dari Myeong-dong di Seoul. © Museum Sejarah Bupyeong
“Pagi,” foto tahun 1946 oleh Lim Eung-sik, merekam wanita muda yang membawa baskom penuh bunga di jalan di Busan. Foto itu ada dalam koleksi Museum Nasional Seni Modern dan Kontemporer. © Lim Sang-cheol
Dalam foto tahun 1950-an ini, seorang pengantar naengmyeon menampilkan pertunjukan akrobat yang menarik di jalan di Sokcho. Dia dikenal sebagai pendiri restoran mi dingin bergaya Hamheung di kota pesisir dekat Zona Demiliterisasi. © Museum Kota Sokcho
Gerobak Tangan dan Sepeda Gayung
Sosok para pengantar mulai benar-benar diperhatikan orang sejak terbentuknya pasar permanen di kota. Pedagang pasar yang tidak dapat meninggalkan toko mereka memesan makanan di rumah makan, dan ajuma yang menjunjung nampan dipenuhi tumpukan piring berisikan makanan di atas kepala akan mengirimkan makanan pesanan dengan hati-hati. Di rumah makan mewah yang disebut “restoran” pun menyediakan jasa pengiriman 20-an jenis masakan. Jika jenis masakannya banyak seperti ini, maka masakan tersebut harus diantarkan dengan meja persegi besar. Di rumah-rumah orang kaya, ketika mereka mengadakan pesta dan mengundang para tamu, maka koki dan pelayan restoran akan pergi ke rumah tersebut. Rumah makan Cina yang mewah pun mengirimkan masakan mereka jika ada pesanan.
Setelah melewati kemerdekaan dan perang Korea, tahun 1960-an merupakan masa di mana Korea mengalami urbanisasi dan industrialisasi pesat karena kebijakan perkembangan masif yang dijalankan oleh pemerintah. Sebagai hasilnya, pasar grosir dan eceran di Seoul juga berkembang pesat. Toko grosir akan memanggil pengantar barang dengan gerobak tangan jika mendapat pesanan dari toko eceran. Beberapa pengantar gerobak tangan ini ada yang membeli barang dari toko grosir dan menjualnya ke toko eceran dengan harga yang sama. Sebagai ganti dari keuntungan distribusi, mereka menjual ulang kotak-kotak yang digunakan untuk membungkus produk jualan ke toko grosir.
Saat itu, bahan bakar yang digunakan untuk menghangatkan ruangan dan memasak di rumah-rumah kota sebagian besarnya adalah briket. Menyimpan persediaan briket di gudang untuk melewati musim dingin merupakan hal yang biasa dilakukan di kebanyakan rumah. Namun, sebanyak apa pun rumah-rumah keluarga biasa memesan briket, pabrik briket tidak akan mengirimkan produk mereka langsung ke rumah pemesan. Oleh karena itu, awalnya orang-orang harus meminjam gerobak tangan dan mengangkut briket sendiri. Namun, bersamaan dengan meningkatnya permintaan, sejak tahun 1970-an muncullah toko-toko yang secara khusus memberikan pasokan briket ke tiap-tiap rumah dengan menerima ongkos pengantaran yang murah. Pengantaran briket juga berguna di tempat-tempat selain rumah. Usaha yang muncul untuk pedagang kaki lima yang tidak memiliki fasilitas pemanas saat musim dingin adalah usaha pengantaran briket tungku. Di pasar Namdaemun dan Dongdaemun, para pengantar briket memasukkan briket ke dalam kereta tungku dan menunggu pesanan dari para pedagang sejak jam 5 subuh. Selain harga briket, mereka mendapat sedikit ongkos tambahan pengantaran. Jika mereka mengirim rata-rata 200 briket per hari, maka akan cukup sebagai upah harian.
Makanan pesan antar mulai bergeser dari dominasi masakan Cina sejak toko-toko fast-food ala Amerika mulai memasuki Seoul ketika Korea menyambut Olimpiade Seoul pada tahun 1988. Kemudian muncullah panorama baru.
Pizza – yang sebelumnya merupakan makanan asing bagi orang Korea – mulai dikirim ke rumah konsumen oleh para pemuda dengan menggunakan alat transportasi baru bernama sepeda motor.
“Another Hopeful Day” (judul sementara), sebuah foto tahun 1960 oleh Lim Eung-sik, merekam anak laki-laki yang sedang berlari untuk mengantarkan koran di Myeong-dong, Seoul. Anak-anak dari keluarga miskin biasa mengirimkan koran untuk mendapatkan uang sekolah dan uang saku. © Lim Sang-cheol
“Ikseon-dong,” sebuah foto tahun 1993 oleh Han Jeong-sik, menunjukkan seorang pengantar makanan Tiongkok mengendarai sepeda melalui gang-gang di daerah pemukiman di pusat kota Seoul, memegang kotak kaleng besar di satu tangan. Restoran Cina mulai menyediakan layanan pengiriman pada 1960-an. © Han Jeong-sik
Foto seorang pria mengirimkan briket batu bara menggunakan pikulan di sebuah kota kumuh di lereng bukit di Seoul yang diambil awal tahun 1970-an. Briket berlubang banyak digunakan untuk pemanas dan memasak dari era pasca-Perang Korea hingga 1990-an. © NewsBank
Sepeda Motor dan Aplikasi Smart Phone
Rumah makan masakan Cina yang selama beberapa lama diidentikkan dengan masakan antaran mulai mengantar ke rumah pelanggan sejak tahun 1960-an. Bahkan, saat itu sepeda gayung merupakan satu-satunya sarana pengantaran makanan. Pada akhir tahun 1970-an, sejumlah orang Cina pindah ke Taiwan karena tidak mendapat keuntungan saat memasuki universitas di Korea berdasarkan kebijakan warga Cina yang dikeluarkan oleh pemerintah Korea. Sebagai hasilnya, orang Korea yang bekerja sebagai pengantar di rumah makan Cina yang dulunya dikelola oleh mereka, semakin banyak membuka rumah makan masakan Cina. Kebetulan saat itu kompleks-kompleks besar apartemen dibangun di Seoul dan kota-kota besar lainnya, sehingga seiring dengan bertambahnya area padat penduduk, permintaan akan jasa pengiriman masakan Cina pun melonjak.
Setelah tahun 1980-an, semakin banyak konsumen yang berkemampuan untuk membayar ongkos kirim, dan inilah salah satu faktor yang membuat industri pesan-antar domestik berkembang. Bahkan pada tahun 1982, sebuah surat kabar ekonomi menyebut usaha pesan-antar sebagai bidang usaha yang menjanjikan di masa depan. Makanan pesan-antar mulai bergeser dari dominasi masakan Cina sejak toko-toko fast-food ala Amerika mulai memasuki Seoul ketika Korea menyambut Olimpiade Seoul pada tahun 1988. Kemudian muncullah panorama baru. Pizza – yang sebelumnya merupakan makanan asing bagi orang Korea – mulai diantar ke rumah konsumen oleh para pemuda dengan menggunakan alat transportasi baru bernama sepeda motor. Dalam segi kecepatan dan kegunaannya, sepeda motor dikenal sebagai sarana pengirim yang sangat unggul. Sejak itulah rumah makan masakan Cina dan para pengantar di pasar tradisional mulai menggunakan sepeda motor sebagai pengganti sepeda gayung atau jalan kaki.
Industri pesan-antar yang menjadikan jasa pengiriman sebagai pokok usaha seperti sekarang ini dimulai sejak tahun 1990-an ketika sistem jasa pengiriman Jepang diperkenalkan di Korea dan muncul sebagai bidang usaha yang menjanjikan. Orang Korea yang baru pertama kali mengenal jasa pengiriman semacam ini pada awalnya tidak dapat menyesuaikan diri dan sulit menerima akan adanya pembayaran ongkos kirim yang terpisah. Namun keseganan ini hanyalah gejala yang muncul sementara. Kenyamanan yang didapatkan ketika barang pesanan diantarkan hingga ke depan pintu rumah jika membayar sejumlah kecil ongkos kirim membuat orang-orang terlena dengan mudah. Usaha pengiriman yang mengedepankan kenyamanan ini berkembang pesat, hingga muncullah aplikasi smart phone pada tahun 2010. Khususnya, berbeda dengan generasi sebelumnya, pribumi digital (digital natives) yang lahir setelah tahun 1980-an dapat beradaptasi dengan teknologi informasi dengan sangat baik, dan budaya pengiriman tanpa sadar menjadi ikon masyarakat Korea. Tokoh utama yang menciptakan industri jasa pengiriman di Korea di abad ke-21 adalah generasi smart phone.
Bekerja di sebuah restoran Cina dekat Universitas Korea di Seoul pada akhir 1990-an, seorang kurir yang dikenal dengan nama Cho Tae-hun adalah seorang selebriti lingkungan karena sepeda motornya yang didekorasi dan kecepatan yang “kilat”. Ia menjadi terkenal secara nasional setelah tampil di televisi. © NewsBank
Seorang wanita yang bekerja di sebuah restoran di Pasar Namdaemun di Seoul membawa nampan makanan di kepalanya untuk para pedagang yang tidak dapat meninggalkan toko untuk makan. © Pemda Metropolitan Seoul; Foto oleh Mun Deok-gwan