Busan yang menjadi ibu kota sementara Korea Selatan setelah meletusnya perang Korea pada Juni 1950, menjalankan perannya secara nyata sebagai ibu kota hingga perjanjian gencatan senjata berlangsung dan pemerintah kembali ke Seoul pada tanggal 15 Agustus 1953. Para pengungsi berbondong-bondong memasuki daerah sekitar kantor provinsi Gyeongsang Selatan yang ketika itu digunakan sebagai gedung pemerintahan sementara, dan memulai kehidupan rantau mereka karena terpisah jauh dari kampung halaman tanpa batas waktu yang menjanjikan. Jejak duka itu masih tersisa hingga saat ini dan menuntun kita untuk melihat kembali sejarah yang telah berlalu.
Gamcheon-dong di bagian barat daya Busan adalah sebuah desa yang dibentuk pada 1950-an, ketika pengikut Taegeukdo, agama baru yang berakar pada Taoisme, pindah ke lereng bukit dalam kelompok besar. Barisan rumah bertingkat di perbukitan dan lorong-lorong labirin yang melintasinya menciptakan lanskap yang luar biasa.
Mengenai bagaimana Busan dapat menjadi kota terbesar kedua setelah ibu kota Seoul, sangat berkaitan erat dengan tragedi sejarah modern Korea. Dalam berbagai sisi, perang Korea memberikan alasan penentu dalam perluasan Busan yang pesat. Jumlah penduduk kota Busan yang awalnya berjumlah sekitar 470.000 orang pada tahun 1949 tepat sebelum perang berlangsung, mulai melonjak drastis dengan masuknya para pengungsi saat kota ini menjadi ibu kota sementara. Pada tahun 1955, yaitu dua tahun setelah gencatan senjata, sebagian besar para pengungsi menetap dan jumlah penduduk Busan mencapai satu juta orang. Dengan ini, Busan berubah menjadi sebuah kota yang besar.
Para pengungsi diharuskan untuk tinggal di tempat tinggal sementara dan menghidupi kehidupan mereka. Daerah 40 tangga di Joong-ang-dong yang terletak di dekat stasiun dan pelabuhan Busan merupakan tempat di mana suka duka itu tersimpan. Di sini terdapat patung sosok para pengungsi seperti ibu muda yang sedang menyusui bayinya, penjual krupuk beras, dan pengangkut barang yang sedang beristirahat. Seperti yang bisa kita tebak, tempat ini adalah daerah perbatasan antara kerja dan istirahat. Dengan tangga tersebut sebagai patokannya, bagian bawah tangga menjadi ruang kerja seperti tempat menjual kebutuhan harian, menjual permen karet, menaikkan dan menurunkan barang di dermaga, dan sebagainya. Sementara itu, bagian atas tangga berjejer tenda dan gubuk yang dibangun sebagai tempat tinggal sementara.
Tempat lain yang menyimpan duka perang Korea adalah jembatan Yeongdo. Bagi para pengungsi, kabar anggota keluarga yang tak dapat diketahui lebih menyengsarakan daripada kemiskinan. Mereka seakan-akan saling berjanji dan mulai menempelkan poster untuk mencari keluarga yang terpisah di sepanjang pagar pengaman jembatan, dan menunggu pertemuan kembali dengan keluarga mereka tanpa batas waktu sambil meneteskan air mata. Pulau Yeongdo yang terletak di sebelah Selatan Busan terhubung dengan daratan dengan dibangunnya jembatan penghubung pada tahun 1934.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat tinggal presiden selama Perang Korea ketika Busan merupakan ibu kota darurat Republik Korea. Itu dibangun pada 1920-an sebagai kediaman gubernur provinsi Jepang dan diubah pada tahun 1984 menjadi Aula Memorial Ibukota Darurat. © Busan Heritage Night
Gang toko buku di Bosu-dong muncul selama Perang Korea ketika pasangan pengungsi dari Korea Utara mulai menjual majalah-majalah tua dan menggunakan buku-buku yang diperoleh dari pangkalan militer AS dan toko-toko rombengan. Gang itu ditempati oleh lebih dari 70 toko buku pada 1960-an dan 1970-an, tetapi sekarang memiliki sekitar 40 toko yang menjual buku bacaan baru dan bekas.
Ibu Kota Sementara Pemerintahan
Museum Seokdang di Universitas Dong-a adalah tempat yang dapat membuktikan bahwa Busan pernah menjadi ibu kota sementara. Gedung ini selesai dibangun pada tahun 1925, yaitu ketika pemerintahan kolonial Jepang memindahkan kantor Provinsi Gyeongnam dari Jinju ke Busan. Dengan mempertimbangkan bahwa Busan adalah gerbang pelabuhan dan pusat lalu lintas, Jepang memindahkan kantor provinsi untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan kolonial. Gedung ini kemudian digunakan sebagai gedung pemerintahan ibu kota sementara saat perang Korea, dan kembali menjadi kantor Provinsi Gyeongnam setelah gencatan senjata. Bersamaan dengan dipindahkannya kantor provinsi ke Changwon, gedung ini digunakan sebagai gedung pengadilan negeri Busan. Jadi, gedung ini mengalami banyak pergantian nama dan fungsinya dalam perubahan politik dan sosial sejarah modern Korea. Alasan tersebut membuat gedung ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Terdaftar (di antara warisan budaya modern, ini merupakan warisan budaya yang ditetapkan dan diurus oleh pemerintah karena nilainya yang tinggi untuk dilestarikan dan dimanfaatkan) ke-41 pada tahun 2002. Mulai tahun 2009, gedung ini digunakan sebagai museum Universitas Dong-a dan menjadi tempat untuk pendidikan pengetahuan sejarah.
Selain itu terdapat pula jalanan yang dibentuk belakangan ini untuk memperingati makna dan kenyataan sejarah bahwa kota Busan pernah berperan sebagai ibu kota sementara. Di “Jalan Kenangan Ibu Kota Sementara Korea” yang menghubungi kampus Bumin Universitas Dong-a dan Gedung Memorial Ibu Kota Sementara, kita dapat melihat berbagai patung yang mengingatkan kita pada masa itu dan kereta listrik yang digunakan saat itu.
Gedung Memorial Ibu Kota Sementara tersebut awalnya dibangun sebagai tempat tinggal gubernur Provinsi Gyeongnam pada masa kolonial Jepang, dan digunakan sebagai tempat tinggal presiden saat Busan menjadi ibu kota sementara. Kini tempat ini menunjukkan identitas kota bersejarah dan kewibawaan Busan sebagai ibu kota sementara yang berhasil mengatasi krisis negara saat perang Korea. Di sini terdapat patung lilin presiden pertama Korea Selatan, Rhee Syngman, dalam ukuran yang sebenarnya beserta ruang kerjanya yang sama seperti saat itu. Selain itu, terdapat sejumlah barang yang memberikan gambaran sekilas kehidupan orang-orang pada saat itu, termasuk artikel rumah tangga, replika gubuk, dan ruang kelas untuk anak-anak pengungsi, dan kios-kios dari Pasar Gukje.
Jalan Lereng Gunung
Tidak seperti kebanyakan daerah lainnya, di Busan terdapat banyak jalan lintas yang melewati lereng gunung. Karena total panjangnya yang berjarak 65 kilometer, Busan sampai-sampai disebut sebagai “Kota Jalan Gunung”. Alasan terdapat begitu banyak jalan lintas tersebut adalah karena para pengungsi yang memerlukan tempat tinggal secepat mungkin mulai membangun tenda dan gubuk di gunung. Mengikuti jalan yang tersebar bagai jala pembuluh darah itu, rumah-rumah kecil berdempetan memenuhi ruang tersebut, dan di sela-sela rumah terdapat lagi gang-gang kecil berbelit bagaikan labirin. Di sini, para pengungsi menjalankan kehidupan getir mereka. Seiring berlalunya waktu, tempat yang menyimpan pemandangan perih ini kini menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Salah satu tempat yang terkenal adalah Desa Budaya Gamcheon.
Jika kita menaiki jalan tanjakan Gamcheon dari Rumah Sakit Busan, di sebelah kanan jalan ini terbentang pemandangan desa yang bertangga-tangga. Para penganut agama baru Taegeukdo yang mengungsi ke daerah ini saat perang membangun kampung yang disebut desa Taegeukdo, dan desa ini adalah prototipe Desa Budaya Gamcheon. Penduduk Busan juga menyebut tempat ini “desa kereta”. Pada malam hari, jendela rumah beratap ini memancarkan cahaya lampu. Jika dilihat dari jauh, rumah-rumah yang berjejer horizontal ini terlihat bagaikan kereta malam yang sedang berlaju, sehingga dinamakan “desa kereta”.
Ke mana pun kita pergi di desa ini, kita dapat menemui persimpangan gang-gang dan tangga-tangga yang saling bertemu di jalan bertanjak. Gang-gang menghubungkan rumah-rumah secara horizontal dan tangga menghubungkan gang-gang secara vertikal. Sekarang desa ini telah berubah menjadi desa seni dan budaya dengan tetap melestarikan kebersihan desa ini dan menempatkan karya seni di beberapa tempat umum sebagai bagian dari usaha pembaruan perkotaan. Tempat ini juga merupakan tempat tujuan yang direkomendasikan oleh media massa luar negeri seperti “Le Monde” dan CNN.
Para pengungsi yang tinggal di kota kumuh Jungang-dong akan naik dan turun 40 tangga 40 setiap hari membawa guci air di pundak mereka.
Tidak seperti kebanyakan daerah lainnya,
di Busan terdapat banyak jalan lintas yang melewati lereng gunung.
Pasar Terbuka
Para pengungsi yang harus bertahan menjalani kehidupan tanpa harapan dan tidak berujung di kota asing ini dapat tetap teguh menjaga keluarganya dalam keadaan yang suram karena adanya pasar. Bagi mereka, pasar-pasar Busan yang memberikan sesuap nasi ini adalah tempat terukirnya berbagai kisah lama masing-masing orang. Terutama di sekitar Pasar Gukje dan Pasar Bupyeong Kkangtong dijual barang-barang saat perang Jepang dan barang keperluan sehari-hari yang diam-diam diambil dari angkatan tentara Amerika saat perang Korea, sehingga pasar ini juga disebut sebagai “pasar terbuka”.
Pasar Gukje muncul sebagai pusat mode di negara ini, menjual barang bekas yang dikirim dari negara lain sebagai barang bantuan. Pasar mendapatkan nama Gukje (“Internasional”) karena diketahui bahwa hampir semua jenis barang asing dapat ditemukan di sini. Setelah perang, transaksi ilegal pasokan militer terjadi di Pasar Bupyeong Kkangtong, pasar publik pertama Korea. Nama Kkangtong (“Kaleng”) berasal dari fakta bahwa ia menjual banyak makanan kaleng yang diselundupkan dari pangkalan militer AS yang dipasang di kota selama perang. Vendor yang berurusan dengan pasokan militer A.S. di sini disebut “pedagang Yankee” dan mereka mendapat untung besar dari penjualan kembali minuman, rokok, dan produk makanan yang dibeli dari wanita yang tinggal dengan tentara Amerika.
Pasar Bupyeong Kkangtong terkenal sebagai tempat kelahiran masakan representatif Busan. Eomuk (kue ikan) Busan yang terkenal lahir di sini, dan doeji gukbap (sup nasi babi) juga dikembangkan di sini selama perang. Selain itu, pedagang akan menyiapkan semacam sup kental dengan sisa makanan yang diambil dari pangkalan militer AS, meletakkan segala sesuatu di dalam panci dan merebusnya bersama-sama. Disebut “sup babi” atau “sup PBB,” itu akan menjadi pendahulu budae jjigae (secara harfiah “sup militer”). Mengandung sosis, ham, dan daging lainnya, itu adalah sumber protein yang berharga bagi para pengungsi.
Diciptakan oleh Komando PBB, Pusara Peringatan PBB didedikasikan untuk Pasukan Sekutu PBB yang berjuang dan kehilangan nyawa mereka dalam Perang Korea. Dibangun pada bulan April 1951, makam ini menarik pengunjung dari dalam dan luar negeri, dengan bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dari 21 negara peserta dikibarkan sepanjang tahun.
Gang Toko Buku
Gang toko buku Bosu-dong yang dijejeri dengan dempetan toko-toko buku sepanjang 150 meter merupakan gang toko buku terbesar di Korea ketika itu. Selama masa perang, para mahasiswa yang belajar di kelas sementara yang terbuat dari papan kayu dan tenda di pegunungan Gudeoksan, gunung belakang Bosu-dong, dan di Yeongdo dapat ditemui dengan mudah. Sekolah yang disebut “Universitas Himpunan Masa Perang” ini merupakan gabungan dari beberapa universitas yang ada di Seoul oleh otoritas pendidikan ketika itu. Oleh karena itu, gang di daerah Bosu-dong yang merupakan jalan menuju sekolah selalu ramai dan secara otomatis terbentuklah gang toko buku.
Ketika itu sangat sulit mencari dan membeli buku pelajaran dan buku-buku lainnya karena situasi penerbit yang kurang baik akibat perang. Oleh karena itu, toko-toko jalanan buku bekas banyak terbentuk di antara orang yang ingin menjual bukunya dan yang ingin membeli buku tersebut. Toko-toko jalanan inilah yang satu per satu menetap dan membentuk gang toko buku Bosu-dong. Saat itu, para cendekiawan harus menahan air mata dan menjual buku kesayangannya untuk dapat membeli sesuap nasi. Dengan buku-buku yang terkumpul seperti inilah kini gang ini menjadi gudang ilmu Busan dan simbol gang budaya.
Taman Memorial PBB (UN Memorial Cemetery in Korea) adalah tempat yang secara langsung memanggil kembali kenangan saat perang. Sebagai tempat peristirahatan abadi tentara UN yang gugur saat perang Korea, di sini berbaring korban perang sebanyak 2.297 orang dari 11 negara seperti Inggris, Turki, Kanada, Australia, Belanda, dan lain-lain. Seperti Auschwitz di Polandia dan Taman Memorial Perdamaian di Hiroshima Jepang, taman ini adalah tempat penting yang menunjukkan betapa berharganya perdamaian dan nilai kebebasan kepada semua orang yang mengemban bekas luka perang dan menjalani kehidupan zaman sekarang. Di sekitar Taman Memorial PBB, terdapat Taman Perdamaian PBB, Taman Patung PBB, dan Gedung Memorial Perdamaian PBB yang memangku harapan untuk keharmonisan dunia, perdamaian, dan peristirahatan tenang bagi seluruh umat manusia.
Hidangan Masa Perang
Jika kita bertanya kepada penduduk Busan masakan daerah mereka, sebagian besar akan menjawab “sop babi” dan “mi gandum” tanpa ragu-ragu. Namun masakan-masakan yang mewakili Busan ini sebenarnya tidak memiliki sejarah yang lama karena kedua masakan itu adalah masakan yang dibuat ketika perang Korea. Kedua masakan ini lahir dari penerimaan dan penggabungan budaya makan para pengungsi yang datang dari berbagai daerah.
Milmyeon, salah satu ciri khas Busan, ditemukan oleh para pengungsi perang dari Korea Utara selama Perang Korea. Mi yang dibuat dengan tepung terigu dan tepung kentang disajikan dalam kaldu dingin.
Mi Gandum
Mi gandum (milmyeon) adalah masakan yang dibuat dengan mengenang mi dingin yang sering dimakan di kampung halaman oleh pengungsi dari Korea Utara. Berhubung sangat sulit mendapatkan gandum hitam ketika itu, para pengungsi membuat mi ini dengan tepung gandum yang didapat dari kiriman barang bantuan. Dengan kata lain, mi dingin dari gandum hitam diganti menjadi mi dari tepung gandum.
Mi tepung gandum yang dapat dimakan dengan harga separoh dari mi gandum hitam ini awalnya dianggap sebagai makanan pengganti saja. Seiring berlalunya waktu, mi tepung gandum dimasak dengan ciri khas Busan yang memberikan rasa pedas, asin, dan merangsang cita rasa yang kental sehingga berubah menjadi masakan kampung halaman Busan.
Meskipun ada sedikit perbedaan di setiap rumah makan, mi tepung gandum dimasak dengan campuran tepung gandum dan pati. Kemudian di atas mi ini, diberikan kuah berkaldu yang telah agak dibekukan. Kuah ini dimasak dengan merebus tulang sapi, sayur-sayuran, dan beberapa bahan obat tradisional Korea. Sama seperti mi dingin lainnya, mi ini dapat dinikmati dengan atau tanpa kuah dingin. Mi dingin berkuah dengan gumpalan kecil es-es yang renyah sangat segar ketika dikunyah karena tekstur mi yang lembut tetapi juga kenyal. Mi dingin tanpa kuah dimakan dengan mengaduk serbuk cabe yang merah seperti sifat khas orang Busan, daun bawang, bawang putih, bawang bombai, dan sebagainya. Rasanya yang pedas tapi juga manis ini memberikan cita rasa khusus di musim panas, di mana kadang orang-orang mengatasi panas mereka dengan rasa panas.
Sop babi adalah hidangan lokal terkenal yang dikembangkan dengan mengadopsi beragam selera dan kebiasaan pengungsi dari seluruh negeri. Nasi yang dimasak dan irisan daging disajikan dalam kaldu tulang babi dengan saus di sisinya.
Sop Babi
Sop babi yang mewakili masakan Busan memang paling lezat dimakan dengan cara memasukkan nasi ke dalam kuah berkaldu babi yang dilengkapi dengan isi daging babi. Sop ini dinikmati dengan memasukkan kucai, bawang putih, cabe hijau pedas, bawang bombai, kimchi, dan sebagainya menurut selera ke dalam sop, dan dimakan panas-panas.
Sop babi Busan yang kita temui sekarang adalah sop babi yang telah disempurnakan dengan merefleksikan budaya masakan dari berbagai daerah. Awalnya, sop babi Busan dihidangkan dengan kuah, daging babi, dan nasi dalam satu mangkuk. Namun bersamaan dengan menetapnya penduduk dari luar Busan, sop ini menerima budaya masakan dari berbagai wilayah.
Pertama-tama, jika kita perhatikan jenis kuahnya, terdapat berbagai kuah seperti kuah yang putih pekat, agak putih, dan jernih. Kaldu putih pekat dibuat dengan cara merebus tulang babi sehingga rasa kuahnya kental dan gurih. Kuah ini mirip dengan kuah sargasum (gulfweed) di Pulau Jeju dan tonkatsu ramen di Kyushu – Jepang. Kaldu yang agak putih dibuat dengan merebus seluruh kepala babi dan isi perut babi. Kaldu yang menjadi bentuk paling standar ini dikembangkan oleh pengungsi dari Korea Utara dan memiliki rasa gurih yang mendalam. Kaldu jernih dibuat dengan hanya merebus daging utuh tanpa lemaknya saja. Cara masak ini berasal dari provinsi Gyeongnam bagian Barat dan menghasilkan rasa yang segar.
Jenis-jenis sop babi Busan pun beragam. Sop babi yang hanya berisikan daging babi, sop nasi sundae(usus babi atau sapi yang diisi dengan mi sohun dan berbagai bahan lainnya) yang dilegkapi dengan daging babi dan sundae, sop nasi isi dalaman babi, sop nasi campuran yang berisi daging dan isi dalamannya seperti usus babi, baekban (hidangan berupa nasi, sop, dan berbagai lauk pauk) daging babi yang menghidangkan nasi, kuah, dan dagingnya secara terpisah, mi sop babi yang menggantikan nasi dengan mi, dan sebagainya. Hal ini menyiratkan bahwa masakan babi di berbagai wilayah telah menetap sebagai “sop babi” di Busan.
Choi Weon-junPenyair, Dosen Pusat Pendidikan Seumur Hidup Universitas Dong-eui
Ahn Hong-beomFotografer