메인메뉴 바로가기본문으로 바로가기

Focus

2021 SPRING

CULTURE & ART

FOKUS SEHANDO
Sebuah Harta Karun Nasional

Sehando adalah lukisan karya ilmuwan terkenal pada akhir era Joseon yang bernama Kim Jeong-hui. Lukisan ini dibuat Kim pada tahun 1844 di Pulau Jeju yang juga merupakan tempatnya diasingkan. Sehando ini sering disebut sebagai puncak kejayaan muninhwa (lukisan karya kalangan menengah ke atas yang bukan berprofesi sebagai pelukis profesional). Lukisan yang sebelumnya merupakan koleksi pribadi ini akhirnya didonasikan ke Museum Nasional Korea tahun lalu. Saat itu, pemerintah langsung menganugerahkan Order of Cultural Merit pada pendonornya, lalu Museum Nasional Korea membuka area pameran khusus agar masyarakat dapat menyambut pusaka bangsa ini setelah perjalanan panjang.

Sehando oleh Kim Jeong-hui (1786~1856). 1844. Tinta di atas kertas. 23,9 × 70,4 cm. Museum Nasional Korea. Sehando, sebuah Harta Karun Nasional Korea, adalah lukisan pujangga paling terkenal dari Dinasti Joseon. Kim Jeong-hui, seorang sarjana dan ahli kaligrafi terkemuka, menggambarkan suramnya Pulau Jeju tempat pengasingannya. Di kiri lukisan yang dipasang di gulungan adalah kolofon Kim yang mengapresiasi persahabatan yang tak berubah dari muridnya Yi Sang-jeok, kutipan dari “Kumpulan Sastra Konfusius.”

“ Master Wandang di Tepi Laut Mengenakan Topi Bambu” oleh Heo Ryeon (1808~1893). abad ke-19. Tinta dan warna di atas kertas. 79,3 × 38,7 cm. APMA, Museum Seni Amorepasifik. Heo Ryeon, pelukis lanskap terkemuka dari akhir Dinasti Joseon, menggambarkan gurunya Kim Jeong-hui hidup dalam pengasingan di Pulau Jeju. Motif lukisan itu diambil dari “Dongpo dengan Topi dan Bakiak Bambu”, potret penyair Tiongkok Su Shi, yang dikagumi Kim.

Hadiah dari Seorang Guru di Pengasingan
‘Gulungan Sehando’ yang terdaftar sebagai pusaka nasional nomor 180 pada tahun 1974 ini memiliki panjang 1.469,5cm saat direntangkan. Dari total panjang tersebut, lukisan Sehando, karya Kim Jeong-hui hanya memiliki panjang sekitar 70cm, sementara selebihnya diisi oleh komentar dari berbagai orang. Inilah yang membuat kita harus membedakan antara lukisan Sehando dengan Gulungan Sehando. Jadi, kenapa sebuah gulungan lukisan justru lebih didominasi oleh komentar dibandingkan oleh lukisan itu sendiri?

Kim Jeong-hui lahir pada akhir abad ke-18 saat Semenanjung Korea sedang dibawah pimpinan Dinasti Joseon.

Terlahir dari keluarga kaya sekaligus saudara jauh keluarga kerajaan, Kim Jeong-hui memiliki ketertarikan dalam berbagai bidang sejak usia muda, mulai dari arkeologi sampai ke epigrafi. Pada usia 24 tahun, Kim Jeong-hui ikut ayahnya berkunjung ke Dinasti Qing sebagai utusan kerajaan di Yanqing (sekarang Beijing) tempat dia banyak bertukar pikiran dengan para cendekiawan. Dikenal luas dengan nama samaran Chusa atau Wandang, dia mahir dalam seni puisi, kaligrafi, dan melukis yang wajib dikuasai oleh pujangga. Selain itu, dia juga menciptakan gaya kaligrafi orisinal bernama ‘Chusachae’.

Pada abad ke-19, kondisi politik Joseon menjadi kacau balau akibat putra mahkota yang masih sangat muda harus naik takhta. Ideologi baru seperti ilmu praktis (Silhak) atau agama yang baru diperkenalkan seperti Katolik mengundang pertentangan dari kelas pemimpin konservatif. Saat itu, mengasingkan oposisi ke tempat jauh merupakan hal yang wajar. Pada tahun 1840, saat Kim Jeong-hui berusia 55 tahun, dia dijebak dan diasingkan ke Pulau Jeju yang merupakan tempat pengasingan paling jauh dan berbahaya. Hidup tragisnya di dalam pengasingan yang tidak mengizinkannya keluar rumah sama sekali berlangsung selama delapan tahun empat bulan.

Selama dalam pengasingan, dia sering terkena penyakit dan bahkan harus berduka akibat kematian istrinya, tetapi dia tetap fokus melukis dan menulis di tengah keputusasaan itu. Baginya, kabar terbaru dan buku berharga yang dikirimkan melalui kapal laut oleh muridnya bernama Lee Sang-jeok (1804~1865) merupakan hiburan luar biasa. Lee Sang-jeok sering mengirimkan buku-buku yang dikumpulkannya dengan susah payah dalam setiap perjalanannya ke Tiongkok untuk gurunya yang harus melewatkan hari-hari penuh sepi di tempat pengasingan tersebut.

Sehando merupakan lukisan yang dihadiahkan Kim Jeong-hui kepada Lee Sang-jeok pada masa itu. Di kanvas, terlihat sebuah rumah sederhana yang di kanan kirinya dihiasi pohon pinus dan pohon cypress (pohon sanobar) yang terletak simetris, sementara bagian lain kanvas ditinggalkan kosong. Di sebelah kiri gambar ditempelkan selembar kertas dengan tabel berisi tulisan tangan untuk menyampaikan perasaan terima kasihnya atas buku-buku yang sudah dikirimkan selama ini. Dia juga mengutip Zhi Han dari Analek Konfusius yang berbunyi “Musim dingin harus datang agar kita tahu fakta bahwa pinus dan cypress tidak layu”. Lukisan ini kemudian diberi judul dari dua huruf pertama kutipan tersebut. Karya Kim itu seakan menunjukkan kehidupan penuh kesepian di pengasingan di Pulau Jeju yang diumpamakan sebagai ‘musim dingin’, serta kasih sayang antara guru dengan murid yang tidak berubah walau ada di tengah kemalangan.

Gulungan horizontal “Sehando,” sepanjang 14,7 meter, berisi komentar dari 16 intelektual Cina. Kim Jeong-hui mempersembahkan lukisan itu kepada muridnya Yi Sang-jeok, yang membawanya ke Beijing dan mengundang para sastrawan Cina untuk mengomentarinya.
Para intelektual Tiongkok menghargai makna simbolis dari lukisan tersebut dan menekankan pentingnya tetap setia pada prinsip di tengah keadaan yang sulit.
Kim Jeong-hui meletakkan tulisan di selembar kertas terpisah yang ditempelkan di sebelah kiri lukisannya untuk mengungkapkan perasaannya sebagai orang pengasingan dan rasa terima kasih kepada muridnya Yi Sang-jeok.
Pada tahun 1914, pemilik ketiga lukisan itu, Kim Jun-hak (1859~?), menulis judul, “Wandang’s Sehando,” dalam lima aksara Tiongkok klasik di selembar kertas terpisah dan menempelkannya di sisi kanan. Di bawah judul itu dia menulis puisi tentang perasaannya tentang lukisan itu.



Perjalanan Panjang Melewati Batas Negara
Lee Sang-jeok sedang bersiap-siap bertugas ke Tiongkok ketika menerima Sehando dari gurunya. Saking terharunya, dia membawa lukisan ini ke Yanjing, tempat tujuh belas kaum cendekiawan Tiongkok berkumpul untuk menyambut kedatangannya. Di perkumpulan itu, Lee Sang-jeok menunjukkan lukisan gurunya dan meminta komentar kepada mereka, sampai akhirnya 16 orang di antara mereka menuliskan komentar secara bergiliran. Kebanyakan dari mereka menuliskan betapa penting dan sulitnya bagi orang bijak untuk melindungi apa yang mereka yakini.

Total 20 komentar dituliskan di gulungan ini oleh 16 orang Tiongkok dan 4 orang Korea. Proses ini menyimpan berbagai macam cerita. Setelah Lee Sang-jeok atau pemilik pertama lukisan ini meninggal dunia, lukisan ini diwariskan ke muridnya, lalu ke putra muridnya sebelum kemudian berpindah tangan ke orang lain. Selanjutnya, lukisan ini jatuh ke tangan ilmuwan Jepang Chikashi Fujitsuka (1879~1948) pada era penjajahan Jepang awal abad ke-20. Fujitsuka yang mengajar di Jurusan Filosofi Tiongkok di Kyeongseong Imperial University tertarik untuk melakukan penelitian terhadap Kim Jeong-hui dan mendapatkan lukisan ini dalam upaya besarnya untuk mengumpulkan berbagai data terkait, sebelum akhirnya dia kembali ke Jepang pada tahun 1940.

Selanjutnya, seorang ahli kaligrafi bernama Son Jae-hyeong (1903~1981) yang meneliti kaligrafi karya Kim Jeong-hui mengunjungi Fujitsuka yang saat itu menjabat sebagai direktur Daedong Cultural Academy di Tokyo, Jepang, untuk memperoleh lukisan itu. Dia memohon, “Saya akan melakukan semua yang Anda inginkan, jadi mohon serahkan karya itu.” Namun, Fujitsuka menjawab bahwa dirinya juga mengagumi Kim Jeong-hui, maka dia harus menolak tawaran tulus itu. Son tidak menyerah, dia terus mengunjungi Fujitsuka setiap hari selama dua bulan. Akhirnya, pada bulan Desember tahun yang sama Son mendapatkan karya itu tanpa perlu membayarkan apa pun dengan pesan, “Kamu memang pantas menyimpan Sehando.” Pada bulan Maret tahun berikutnya, Tokyo dibom oleh pasukan Amerika Serikat yang menyebabkan mayoritas data penelitian Fujitsuka musnah terbakar.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Semenanjung Korea akhirnya merdeka dari Jepang setelah 35 tahun penjajahannya. Dipenuhi rasa sukacita, Son Jae-hyeong meminta 3 orang ilmuwan dan politisi yang dapat mewakili era itu untuk menuliskan komentar di Gulungan Sehando. Dengan rasa haru setelah berhasil memperoleh kemerdekaan negara, mereka meninggalkan tulisan berisi pujian pada Son Jae-hyeong yang berhasil mengambil kembali Sehando dari tangan orang Jepang. Saat itu, Son Jae-hyeong memperbaiki gulungan sutra Sehando sekaligus meninggalkan ruang kosong di beberapa tempat gulungan tersebut. Sepertinya hal ini dilakukan karena Son ingin mencoba mendapatkan komentar lebih banyak, meskipun pada akhirnya gulungan itu sekarang tetap memiliki cukup banyak bagian yang masih kosong karena keinginan itu tidak terwujud.

Setelah itu, Son Jae-hyeong melepaskan beragam koleksi kaligrafi dan lukisannya, termasuk lukisan ini untuk mendanai pencalonan dirinya sebagai anggota parlemen pada tahun 1971. Sosok yang berhasil mendapatkan lukisan ini adalah Son Se-gi (1903~1983), seorang peng peng-usaha kelahiran Kaesong yang meraih kesuksesan besar dalam perdagangan ginseng. Pengamat warisan kebudayaan luar biasa ini menganggap karya Kim Jeong-hui sebagai sesuatu yang istimewa. Pewaris koleksi seninya adalah Son Chang-geun, yakni putra tertuanya yang tahun lalu dianugerahi Bintang Jasa Mahkota Emas.

Sehando yang menjadi kebanggaan banyak orang, harus berpindah-pindah tangan antara Korea, Tiongkok, dan Jepang selama dua abad, sampai akhirnya pada era digital kini karya ini dapat kembali lagi ke Korea.

Seniman media Prancis Jean-Julien Pous menawarkan interpretasi modern tentang Sehando dalam video hitam-putihnya, “Waktu Musim Dingin”.

Pada abad ke-20, tiga orang terkemuka Korea menambahkan komentar di bagian akhir gulungan itu.
Di bagian paling akhir dari gulungan panjang itu adalah penghormatan yang ditulis oleh Jeong In-bo (1893~1950), seorang sejarawan dan jurnalis Korea. Jeong mengungkapkan belas kasihnya untuk Kim Jeong-hui dan kegembiraannya atas perolehan kembali lukisan dan kemerdekaan bangsa.
Oh Se-chang (1864~1953), seorang politisi dan aktivis kemerdekaan, memuji keberanian penulis kaligrafi Sohn Jae-hyeong, yang menyelamatkan Sehando dari bahaya. Sohn pergi ke Tokyo pada tahun 1944, pada puncak Perang Dunia II, dan membujuk pemilik lukisan, Chikashi Fujitsuka, untuk mengembalikannya ke Korea.
Zhang Mu (1805~1849), seorang sarjana Tiongkok dan penulis “Catatan Kehidupan Pengembara di Mongolia,” meninggalkan komentar yang dimaksudkan sebagai surat kepada Kim Jeong-hui.



Interpretasi Prancis pada Abad ke-21
Pada akhir bulan November 2020, Museum Nasional Korea menggelar pameran khusus untuk merayakan pendonasian Gulungan Sehando bertajuk ‘Layaknya Musim Semi yang Datang setelah Musim Dingin Berlalu - Sehan( )•Pyeongan( )’. Lukisan ini memang pernah beberapa kali dipamerkan sebelumnya, tetapi baru kali ini seluruh bagian gulungannya dipamerkan secara bersamaan sejak tahun 2006. Ada satu hal yang khususnya sangat menarik perhatian di pameran yang akan berlangsung sampai tanggal 4 April ini, yaitu video intro hitam putih berjudul ‘Waktu Musim Dingin’. Video berdurasi tujuh menit ini memperlihatkan sepinya angin dan ombak di Jeju, lalu semut yang berbaris tanpa henti, rimbunnya hutan pinus, dan sebagainya.

Seniman media berkebangsaan Prancis bernama Jean- Julien Pous selaku produser video ini berkata pada sebuah wawancara dengan JoongAng Ilbo, “Sehando mungkin menyimpan beragam perasaan, tetapi menurutku rasa sepi adalah yang terbesar. Belakangan ini, kita semua hidup pada kota yang sepi akibat COVID-19, sehingga karya ini bisa menyentuh kita lebih dalam.” Karya dengan estetika presisi yang luar biasa dapat dianggap sebagai komentar lain terhadap Sehando yang tinggalkan oleh orang Prancis pada abad ke-21. Sehando yang memberikan inspirasi kepada banyak orang di Korea, Jepang, dan Tiongkok selama dua abad, ditafsirkan ulang sebagai material karya baru pada masa digital.

Kang Hye-ran Wartawan JoongAng Ilbo

전체메뉴

전체메뉴 닫기