메인메뉴 바로가기본문으로 바로가기

Focus

2021 SUMMER

FOKUS

DILKUSHA ‘Istana Hati Riang’

‘Dilkusha’ merupakan tempat tinggal warga negara Amerika bernama Albert Taylor (1875~1948) dan istrinya yang berkewarganegaraan Inggris, Mary Linley Taylor (1889~1982) yang pertama kali mengabarkan tentang Pergerakan 1 Maret 1919 ke luar negeri. Setelah melalui proses pemugaran selama beberapa tahun, rumah ini akhirnya dibuka kepada publik sebagai gedung peringatan pada 1 Maret tahun ini. Atap tempat bernaung mereka yang penuh impian dan cinta, serta semangat untuk membantu kemerdekaan Korea Selatan telah kembali ke wujudnya semula.

Dilkusha, rumah bata merah bergaya Barat di Haengchon-dong, Seoul, dibangun pada tahun 1923 oleh pengusaha Amerika dan koresponden berita Albert Taylor dan istrinya, aktris Inggris Mary Linley Taylor. Sebuah foto lama rumah tersebut muncul di “Village Outside Donuimun, Under the Fortress Wall: History, Space, Housing,” diterbitkan pada tahun 2009 oleh Pemerintah Metropolitan Seoul.

Dilkusha mencontohkan teknik konstruksi rumah bergaya Barat yang dibangun di Korea pada awal abad ke- 20. Dinding luar dibangun dengan meletakkan batu bata secara berdiri dan terlentang bergantian.

Albert Taylor tiba di Korea pada akhir tahun 1890-an, ketika ayahnya memulai proyek penambangan emas di Provinsi Pyongan Utara. Taylor dan istrinya diusir ke Amerika oleh Jepang pada tahun 1942. Dia meninggal di California pada tahun 1948 dan abunya dibawa ke Korea untuk dibaringkan di samping makam ayahnya.

Sebuah bangunan unik dua lantai dengan satu lantai bawah tanah dan dinding batu bata merah berdiri di tengah pemukiman padat di bukit Haengchon-dong di Kota Seoul. Rumah dengan batu landasan berukirkan ‘DILKUSHA 1923’ ini memiliki sejarah yang panjang.

Seorang pria Amerika bernama George Alexander Tay¬lor (1829~1908) datang ke Korea bersama dua putranya bernama Albert dan William tidak lama setelah diumum¬kannya pendirian Kekaisaran Joseon di akhir tahun 1890- an. Dia datang untuk berbisnis tambang emas Unsan yang saat itu berlokasi di Provinsi Pyeongan Utara. Setelah meni¬kah dengan aktris Inggris bernama Mary Linley, Albert membangun rumah bergaya Barat untuk ditinggali sehari-hari yang disebut Dilkusha. Nama dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘Istana Hati Riang’ tersebut diambil dari sebu¬ah istana di bagian utara India yang mereka kunjungi dalam perjalanan bulan madu.

Rumah yang Terlupakan
Albert tidak hanya menekuni industri tambang emas. Dia mendirikan W.W. Taylor & Company di Sogong-dong yang terletak di pusat Kota Seoul untuk mengimpor dan menju¬al bahan dasar bangunan, serta berbagai kebutuhan hidup termasuk mobil buatan Amerika. Selain itu, dia juga berpe¬ran menyampaikan kejadian yang berlangsung di Korea ke Amerika melalui korespondensinya dengan United Press International dan Associated Press.

Putra Albert bernama Bruce Taylor (1919~2015) lahir di RS Severance tanggal 28 Februari 1919, tepat satu hari sebelum dimulainya Pergerakan 1 Maret oleh seluruh rakyat Korea untuk melawan pendudukan Jepang. Menurut catat¬an masa lalu Mary Linley Taylor berjudul Chain of Amber (The Book Guild Ltd., 1992), para perawat berkebangsa¬an Joseon menyembunyikan setumpuk dokumen penting di bawah selimut bayi yang baru dilahirkan itu untuk meng¬hindari penyelidikan polisi Jepang. Saat datang di malam harinya, Albert baru menyadari bahwa dokumen itu ternyata ‘Deklarasi Kemerdekaan Korea’.

“Ini kan ‘Deklarasi Kemerdekaan Korea,’ serunya, Aku ingin menegaskan kejadian di hari itu yang bahkan masih membuatku sedih hingga hari ini. Albert yang saat itu baru saja menjadi reporter surat kabar terlihat lebih bersema¬ngat saat menemukan dokumen itu dibanding saat bertemu dengan putranya untuk pertama kalinya. Tepat malam itu, adik iparku Bill pergi meninggalkan Seoul menuju Tokyo membawa salinan deklarasi kemerdekaan tersebut dan arti¬ kel terkait karya Albert yang disembunyikan di bagian belakang sepatunya. Dia ingin mengirimkannya ke Ame¬rika melalui telegraf sebelum perintah pelarangan diturun¬kan.”

Saat itu betapa sulitnya membayangkan seluruh rak¬yat bangkit serempak melawan kekuatan imperialisme. Namun, sebenarnya pergerakan rakyat besar-besaran tengah terjadi setelah sembilan tahun pendudukan Jepang di Joseon. Setelah dikirimkan, media berbahasa Inggris di Cina bernama ‘China Press’ untuk pertama kalinya mena¬yangkan artikel tersebut di tanggal 4 Maret yang kemudian disusul oleh ‘South Bend News-Time’ dari Indiana, Ame¬rika pada tanggal 10 Maret hingga akhirnya ‘New York Times’ menayangkan artikel berjudul ‘Rakyat Joseon Men-deklarasikan Kemerdekaan’ tanggal 13 Maret.

Sejak itu, Albert semakin giat menulis dan memberi¬takan tentang pembantaian masyarakat dan kasus-kasus pembakaran yang dilakukan Jepang untuk menekan Per¬gerakan 1 Maret. Sebagai pengusaha, tentu saja dia beri¬siko mengalami berbagai macam kerugian dari Jepang. Walau begitu, dia tetap maju melawan bahaya untuk mem¬beritahu dunia tentang penekanan militer yang dilakukan Jepang, serta berkontribusi dalam pembentukan opini pub¬lik yang memihak pada Joseon. Bagi Jepang, tindakannya itu bagai duri di dalam daging. ‘Perang Pasifik’ akhirnya pecah tahun 1941 yang membuat Jepang melarang adanya penduduk berstatus ‘rakyat musuh negara’. Akibatnya, ten¬tara Jepang menangkap Albert di Desember tahun itu dan memenjarakannya selama enam bulan di kemah dekat Pen¬jara Seodaemun hingga akhirnya ia dideportasi ke Ameri-ka bersama istrinya di tahun berikutnya. Setelah itu, Albert dan keluarganya terlupakan dari ingatan rakyat Korea Selat¬an hingga akhirnya Bruce Taylor dan putrinya Jennifer Tay¬lor (1958~sekarang) berkunjung lagi di tahun 2006 atau 64 tahun sejak pasangan itu dideportasi.

Ruang tamu lantai dua di Dilkusha. Berdasarkan foto-foto lama, perabotan meniru waktu keluarga Taylor di rumah tersebut. Perabotan dan aksesorisnya, seperti lukisan pemandangan, vas, lampu, kursi, dan peti tiga lantai, merupakan perpaduan antara Timur dan Barat.

Kunjungan Keluarga Taylor
Sepuluh tahun lalu saya mengunjungi Dilkusha. Saat itu, kondisi bagian luar maupun dalamnya sangat bobrok. Hasil pemeriksaan keamanan bahkan menyatakan bahwa rumah itu sudah tidak layak ditinggali lagi. Walau hanya dilihat sekilas dengan mata telanjang, batu bata yang sudah run¬tuh di mana-mana, serta baja yang terlihat di tengah-tengah beton yang hancur terasa sangat berbahaya. Tentara Jepang mendatangi rumah itu untuk menangkap keluarga Taylor sebelum mendeportasi mereka.

Saat itu, pemerintah Kota Seoul dan pusat mulai ber¬gerak. Setelah sejarah Dilkusha diketahui publik berkat kedatangan Bruce dan putrinya, rumah tersebut didaftar¬kan sebagai Warisan Budaya Nasional di tahun 2017 untuk menghentikan kerusakan, serta melindungi nilai sejarah¬nya. Pekerjaan renovasi dimulai di tahun berikutnya hingga akhirnya dapat dibuka untuk publik di 1 Maret 2021 setelah interiornya diselesaikan. Foto-foto peninggalan Mary, terma¬suk Glenwood Heater digunakan sebagai dasar untuk mena¬ta perabotan dan hiasan kecil seperti vas bunga atau tempat lilin yang membuat kita seakan kembali ke tahun 1920-an. Sebanyak 1,026 buah barang dan foto peninggalan Albert dan istrinya telah disumbangkan ke Museum Sejarah Seoul yang tentunya semakin diperkaya dengan kehadiran Dilkus¬ha sebagai salah satu barang pameran.

Rumah ini bukan sekadar ruang hidup sebuah keluarga pendatang asing. Dilkusha merupakan tempat bernaungnya tokoh utama yang menyebarluaskan fakta tentang perlawan¬an masyarakat terhadap penjajahan bukan hanya di Seme¬nanjung Korea, melainkan ke seluruh dunia.

Mary dikuburkan di California setelah wafat pada usia 92 tahun di tahun 1982. Saat berkunjung ke Korea Selatan di tahun 2006, Bruce dan Jennifer menaburkan tanah yang diambil dari makam Mary ke makam Albert. Dikabarkan bahwa tanah tersebut digali dari makam Mary di California untuk ditaburkan di atas makam Albert.

Ruang tamu lantai pertama di Dilkusha. Rumah itu dikembalikan ke penampilan aslinya dalam upaya dua tahun berdasarkan penelitian yang cermat.

Bantuan-Bantuan dari Orang Asing
Selain Albert Taylor, tidak sedikit orang asing yang mem¬bantu pergerakan kemerdekaan Joseon. Lelaki berkebang¬saan Inggris bernama Ernest T. Bethell (1872~1989) yang hidup sekitar 200 meter dari Dilkusha masuk ke Joseon di tahun 1904 dan menerbitkan ‘Korea Daily News’ bersama seorang jurnalis bernama Yang Gi-tak (1871~1938). Dia mengritik kebijakan invasi Jepang dan mendukung kemer¬dekaan Joseon melalui kegiatan persnya. Dia juga maju ke garis depan dalam Pergerakan Pembayaran Hutang Nasio¬nal yang digagas rakyat Joseon agar bisa melunasi hutang luar negeri berjumlah besar yang dibebankan Jepang kepada pemerintah Kekaisaran Korea Raya.

Seorang wartawan bernama Frederick Mackenzie (1896-1931) dari surat kabar Inggris ‘Daily Mail’ menjelajahi hutan di Provinsi Gyeonggi, Chungcheong, dan Gangwon pada tahun 1906 hingga 1907 untuk menemui dan mem¬beritakan tentang para tentara rakyat yang melawan penja¬jahan Jepang. Usahanya ini kemudian menghasilkan ber¬bagai buku, termasuk “The Tragedy of Korea” (1908) dan “Korea’s Fight for Freedom” (1920). Buku-buku tersebut merupakan informasi berharga yang membuktikan banyak¬nya perang gerilya penuh semangat yang dilakukan oleh rakyat biasa untuk melawan invasi bangsa asing.

Ada pula seorang misionaris sekaligus ilmuwan kelahir¬an Inggris berkebangsaan Kanada bernama Frank Schofield (1889-1970) yang bekerja sukarela sebagai tenaga penga¬jar di Severance Medical School. Saat itu, dia mengabarkan kepada media asing mengenai pembantaian rakyat Jose¬on yang dilakukan oleh Jepang. Akibatnya, dia dideportasi paksa pada tahun 1920 sebelum akhirnya kembali ke Korea di tahun 1969 hingga akhir hayatnya. Dia merupakan warga asing pertama yang disemayamkan di Taman Makam Nasi¬onal Seoul.

Selain mereka, ada pengacara hak asasi manusia berke¬bangsaan Jepang bernama Fuse Datsuji (1880-1953) yang membela secara hukum para penggerak kemerdekaan Jose¬on, warga negara Tiongkok bernama Chu Fucheng (1873- 1948) yang membantu pemerintahan sementara Korea, Su Jinghe (1918-2020) yang bertugas sebagai mata-mata untuk tentara kemerdekaan Korea, serta masih banyak warga asing lainnya. Dilkusha merupakan tempat berharga yang mampu membuat kita mengingat sejarah tersebut.

Kwon Ki-bong Penulis Ahn Hong-beom Fotografer

전체메뉴

전체메뉴 닫기