메인메뉴 바로가기본문으로 바로가기

Features

2021 AUTUMN

HAN-GEUL: MENJADI SOROTAN GLOBAL

Sejarah Han-Geul yang Terpancar dalam Film

“The King’s Letters” adalah film mengenai sosok-sosok pencipta Han-Geul (aksara Korea) pada abad ke-15 di masa Dinasti Joseon, sedangkan “MAL. MO. E:The Secret Mission” adalah film berlatarbelakang zaman kolonial Jepang pada abad ke-20, yang bercerita mengenai sejumlah orang yang mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan Bahasa Korea dan Han-Geul dari Jepang yang hendak memusnahkannya. Aya Narikawa, mantan wartawan surat kabar Asahi yang pergi belajar ke Seoul karena terpikat oleh film Korea, akan memperkenalkan kedua film tersebut.

fea2_8.jpg

Dalam “The King’s Letters” (2019), disutradarai oleh Cho Chul-hyun, Raja Sejong terkejut mendengar bahwa bahasa Sansekerta dapat melambangkan bunyi. Film ini memadukan fakta sejarah dengan imajinasi sinematik untuk menggambarkan bagaimana Han-Geul diciptakan.
© Lotte Entertainment Co., Ltd

Kunjungan pertama saya ke Korea adalah pada tahun 1994 saat masih duduk di bangku SD. Bersama ibu dan kakak laki-laki saya, kami bertiga berwisata ke Pulau Jeju dan Gyeongju. Begitu tiba di tujuan terakhir, Seoul, kakak saya mengatakan perutnya sakit sehingga kami mengajaknya ke rumah sakit dan mendapat diagnosis radang usus buntu. Mendengar bahwa kakak harus diopname dan segera dioperasi, ibu sangat terkejut dan gelisah. Ketika ibu sibuk merawat kakak, saya harus melewati waktu seorang diri di rumah sakit. Namun saya tidak merasa bosan sama sekali karena kakak-kakak perawat di sana mengajak bermain.

Ketika itu saya tidak bisa berbahasa Korea sepatah kata pun. Namun, saya dapat berkomunikasi dengan kakak-kakak perawat dengan tulisan tangan karena mereka mampu membaca karakter Tionghoa. Kami saling memberitahu cara pengucapan sebuah kata berkarakter Tionghoa dalam Bahasa Jepang dan Korea. Bagi saya, itu merupakan pengalaman yang menyenangkan untuk dapat berkomunikasi dengan orang asing pertama kalinya, dan sejak itulah saya bermimpi untuk dapat belajar di Korea dan mempelajari bahasanya.

Kecintaan Terhadap Rakyat
Kadang-kadang saya berkesempatan memberikan kuliah kepada murid-murid Korea, dan pernah kebingungan mendapat pertanyaan, “kapan huruf Hiragana dan Katakana diciptakan?” Baik Hiragana maupun Katakana merupakan karakter turunan dari karakter Tionghoa. Huruf-huruf ini terbentuk setelah melewati perubahan alami seiring berjalannya waktu, sehingga sulit untuk menetapkan dengan tepat kapan masa penciptaannya. Berbeda dengan hal ini, Han-Geul memiliki catatan sejarah yang jelas bahwa huruf ini diciptakan pada zaman Dinasti Joseon oleh Raja Sejong pada tahun 1443, dan diumumkan pada tahun 1446. Han-Geul merupakan satu-satunya huruf di dunia yang memilki catatan sejarah semacam ini.

Film sutradara Cho Chul-hyun berjudul “The King’s Letters” yang dirilis pada tahun 2019 merupakan film yang menceritakan proses penciptaan Han-Geul. Pada bagian pembukaannya, muncul teks berbunyi, “film ini adalah representasi kembali salah satu dari berbagai kisah penciptaan Hunminjeongum (nama awal Han-Geul) secara sinematik”. Seperti isi teks tersebut, film ini menceritakan kisah penciptaan Han-Geul dengan Raja Sejong dan biksu Shinmi sebagai tokoh utamanya meski sebenarnya bagian ini berbeda dengan fakta sejarah. Namun, tujuan Raja Sejong menciptakan Han-Geul memang merupakan sebuah fakta sejarah seperti yang ditekankan pula di dalam film, yaitu penciptaan Han-Geul demi rakyat-rakyatnya. Hal ini dapat juga dilihat dari makna kata “Hunmin” dalam Hunminjeongum yang merupakan nama resmi Han-Geul ketika itu. Di sini, Hunmin memiliki makna “mengajar para rakyat”. Dengan kata lain, rakyat membutuhkan huruf lain yang lebih mudah dibaca karena karakter Tionghoa terlalu sulit bagi rakyat umum.

Dalam film ini, terdapat dialog yang simbolis. Sebelum Han-Geul diciptakan, Raja Sejong membuang buku-buku yang ditulis dalam karakter Tionghoa sambil mengatakan, “semua ini hanyalah lembaran kertas yang tak berguna”, atau berkata, “sebanyak apapun buku kutulis, semuanya takkan tersampaikan kepada para rakyat”.

fea2_9.jpg

Biksu Shinmi menjelaskan karakteristik bahasa Sansekerta kepada Pangeran Suyang dan Pangeran Anpyeong, putra kedua dan ketiga Raja Sejong. Dalam film tersebut, para pangeran membantu ayah mereka dalam proyek rahasianya untuk menciptakan Han-Geul.
© Lotte Entertainment Co., Ltd

Anugerah Sang Raja
Bagian lain yang ditekankan dalam film ini adalah bahwa Han-Geul merupakan huruf yang dapat menandai suara. Biksu Shinmi merenungkan bagaimana caranya agar orang-orang dapat mengekspresikan apa adanya suara yang mereka keluarkan ke dalam bentuk huruf, dan ia melakukan banyak upaya untuk itu. Alasan mereka begitu berkutat terhadap huruf fonografis adalah karena karakter Tionghoa yang bersifat ideograf tidak mampu menangkap suara-suara yang diucapkan oleh orang Joseon dengan baik.

Kehadiran Ratu Soheon (1395 – 1446) pun mengesankan. Umumnya, sejak kecil wanita Korea diajarkan untuk mematuhi lelaki dan menganggap diri mereka tidak beretika jika menyampaikan pendapat seperti apa yang dikatakan dalam pepatah Korea “ketika ayam betina berkokok, maka hancurlah keluarga”. Namun, dalam film ini Ratu Soheon mengatakan “saya yakin sebuah keluarga akan sejahtera dan negara akan makmur ketika ayam betina berkokok”. Dengan kata lain, baik keluarga maupun negara akan menjadi makmur dan sejahtera jika para wanita belajar membaca dan menulis, serta turut mengambil peran.

Meski telah berhasil menciptakan Han-Geul, Raja Sejong tetap tenggelam dalam kegelisahan karena kawula negaranya yang menolak penggunaan huruf baru dan lebih mementingkan karakter Tionghoa. Terutama, penolakan terhadap agama Buddha membuat mereka lebih keras menolak pengumuman HanGeul karena biksu Shinmi berpartisipasi dalam penciptaan huruf baru ini. Namun, Raja Sejong tidak membekukkan niatnya dan membagikan buku yang disusun dengan Hunminjeongum (Han-Geul) sambil meminta persetujuan pengikutnya dengan sungguh-sungguh.

Dalam film ini, biksu Shinmi berbicara mengenai pentingnya makna penciptaan Han-Geul oleh Raja Sejong.

“Semua orang tahu berapa banyak biji di dalam buah persik, namun tak seorang pun tahu berapa banyak buah persik yang terdapat di dalam biji tersebut”.

Kata-kata itu seakan berarti kita tidak tahu semakmur apa dunia yang akan terbentang dengan terciptanya Han-Geul. Saya dapat merasakan bahwa Han-Geul merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Raja Sejong kepada keturunannya setelah menonton film ini. Saya pun sebagai salah satu orang yang menerima pemberian itu sering menulis artikel dengan menggunakan Han-Geul.

fea2_10.jpg

“MAL. MO. E: The Secret Mission” (2019), disutradarai oleh Eom Yu-na, menggambarkan upaya mereka yang berusaha keras untuk menerbitkan kamus bahasa Korea, mempertaruhkan keamanan pribadi mereka di bawah kekuasaan Jepang. Ryu Jeong-hwan (kanan), presiden Masyarakat Bahasa Korea, dan juru tulisnya Kim Pan-su berkeliling negeri untuk mengumpulkan dialek lokal. Ryu didasarkan pada tokoh nyata, sedangkan Kim adalah karakter fiksi yang diciptakan untuk film tersebut.
© Lotte Entertainment Co., Ltd

Bagian dari Gerakan Kemerdekaan
Film sutradara Eom Yu-na berjudul “MAL. MO. E: The Secret Mission” yang dirilis pada tahun yang sama, menceritakan orang-orang yang berjuang melawan imperialisme Jepang yang hendak memusnahkan Han-geul dan Bahasa Korea, dengan latar belakang waktu tahun 1940. Judul film ini, “MAL. MO. E”, adalah kamus Bahasa Korea pertama yang disusun oleh seorang sarjana Bahasa Korea sekaligus seorang aktivis kemerdekaan bernama Ju Si-gyeong bersama murid-muridnya pada tahun 1911. Namun kamus ini tidak dapat diterbitkan karena para penyusunnya meninggal atau diasingkan. Ketika itu, skrip awal kamus ini diserahkan ke berbagai perkumpulan dan naskah awal kamus selesai disusun ada tahun 1942 oleh Perhimpunan Bahasa Korea (Korean Language Society). Akan tetapi, tepat sebelum pencetakan, naskah ini hilang karena penindasan penjajahan Jepang dan ditemukan kembali di sebuah gudang Stasiun Seoul pada tahun 1945 tepat selepas kemerdekaan Korea. Film ini menggunakan fakta sejarah ini sebagai bahan ceritanya.

Protagonis lain dalam film ini adalah Ryu Jeong-hwan, ketua Perhimpunan Bahasa Korea. Pertalian hubungan antara kedua pria ini dimulai ketika Kim Pan-su mencuri tas Ryu Jeong-hwan. Kim Pan-su mencuri untuk mendapatkan uang, tetapi apa yang terdapat di dalam tas itu adalah naskah penting. Naskah itu tak lain dan tak bukan adalah naskah kamus Han-Geul yang disusun oleh Ju Si-gyeong. Ju Si-gyeong merupakan orang pertama yang memberikan nama Han-Geul pada Hunminjeongum dan dikenal sebagai “Bapak Han-Geul”. Perhimpunan Bahasa Korea melanjutkan kerja Ju Si-gyeong dan bermaksud untuk membuat kamus Bahasa Korea. Bagi mereka, menjaga Bahasa Korea dan HanGeul merupakan salah satu bentuk perjuangan kemerdekaan.

Dalam film ini, tokoh bernama Koo Ja-young yang merupakan anggota Perhimpunan Bahasa Korea menjelaskan bahwa “bahasa dan tulisan merupakan wadah tempat menampung jiwa bangsa” kepada Kim Pan-su yang tidak dapat mengerti mengapa mereka mempertaruhkan nyawa untuk membuat kamus. Koo Ja-young terus menerangkan bahwa kata-kata “negara kita, putri kita, kelu-arga kita” diekspresikan secara berbeda di negara Barat seperti “negara saya, putri saya, keluarga saya”, dan menjelaskan semangat komunitas yang terkandung dalam kata “kita”. Dalam situasi di mana mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Jepang, penyusunan kamus bahasa Korea yang mereka lakukan cukup berbahaya. Kenyataannya, pada tahun 1942, terjadi kasus di mana anggota Perhimpunan Bahasa Korea dan orangorang yang bersangkutan ditangkap, disiksa, dan dipenjara. Mungkin masyarakat Korea merasakan kepribadian bangsa yang khusus dalam Han-Geul karena sejarah yang menyakitkan ini. Dalam film “The King’s Letters”, karakter Tionghoa terasa bagaikan simbolisme Cina. Sementara dalam film “MAL. MO. E: The Secret Mission”, karakter Tionghoa terasa bagaikan sesuatu yang menyimbolkan Jepang.

Seperti komunikasi secara tertulis yang dapat dilakukan hanya dengan menggunakan karakter Tionghoa saat saya tidak tahu bahasa Korea sama sekali, di dalam Bahasa Korea terdapat cukup banyak kosa kata yang terbentuk dari karakter Tionghoa. Mungkin ada pula saat di mana kita tidak bisa memahami kosa kata tertentu jika tidak mampu membaca karakter Tionghoa. Keunggulan Han-Geul memang dapat dipahami, namun jika penolakan penggunaan karakter Tionghoa dilakukan sebagai reaksi perlawanan terhadap masa penjajahan Jepang, hal itu sungguh sangat disayangkan.

fea2_11.jpg

Kim Pan-su, yang terlambat belajar membaca dan menulis, menemukan namanya tertulis di sampul “Han-Geul,” sebuah majalah yang diterbitkan oleh Masyarakat Bahasa Korea.
© Lotte Entertainment Co., Ltd

Aya NarikawaPenulis Lepas

전체메뉴

전체메뉴 닫기